Dusun Kemulan, Tumpang, Kabupaten Malang merupakan wilayah yang cukup jauh dari pusat keramaian. Letaknya kira kira 20 km disebelah timur dari Kota Malang. Didusun inilah banyak sekali seniman jaranan kepang dor tinggal dan mengembangkan kesenian jaranan kepang dor. Setiap malam Jumat Legi telah menjadi tradisi dimasyarakat Dusun Kemulan untuk bermain jaranan kepang dor. Malam Jumat Legi adalah malam yang dianggap keramat yang oleh sebagian besar kalangan penuh dengan daya magis. Ketika bermain jaranan kepang dor pada malam itu, mereka seolah menjumpai malam yang penuh dengan nuansa spiritualitas untuk kian mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Berbagai macam sesajipun mulai disiapkan untuk memasuki proses nyetreke. Sesaji yang diberikan itu adalah cok bakal, yang menadai sebagai ingatan yang terus menerus atas para leluhur, utamanya yang telah meninggal dunia. Setelah nyetreke dipagi hari diwilayah pepunden. Malam harinya, tahap pertama dalam pertunjukkan jaranan saat dimulai adalah mengalunkan gending gending pembuka. Peralatan musik yang dipergunakan dalam jaranan kepang dor memang berbeda dengan jenis jaranan kepang lainnya. Jaranan kepang dor tidak menggunakan peralatan musik yang terbuat dari logam, seperti besi atau tembaga, namun banyak diwarnai dengan kulit dan kayu. Jedor, kendang, angklung, dan kentongan adalah berbagai peralatan pakem yang dimainkan dalam tradisi jaranan kepang dor.
Suara gendhing yang dialunkan adalah khas jaranan kepang dor, yang diperuntukkan untuk puji pujian kepada Yang Maha Kuasa, mengalun membelah malam di Dusun nan damai itu. Sementara dibalik panggung pawang komat kamit mengucapkan berbagai mantra yang juga merupakan puji pujian kepada Yang Maha Kuasa, jadi antara alunan musik dan mantra menyatu membentuk suasana magis dan khusu’. Setelah alunan musik pertama usai, para penari jaranan kepang dor memasuki arena yang dipandu oleh pemusik dari kendang, oleh karena itu bentuk gerak penari dan bentuk musik jaranan kepang dor akan terpandu oleh si pengendang. Ritme semuanya dikuasai dan diatur secara rancak oleh pengendang. Suara kendang yang membahana, Deng dong dong dong dong deng tak adalah awal atau tanda bagi penari jaranan kepang dor untuk merubah bentuk gerak kaki. Musik terus bergulir dengan nada datar tung tak tung dor tung ken tung tak tung ken tung dor tang tang tang dor dang tak dang dor, Deng dong dong dong dong deng tak, suara angklung mengalun mangalun secara ajeg mengiringi suara kendang, para penari yang sejumlah enam orang itu dengan kompak mengikuti alunan musik selamat datang. Enam orang penari yang memasuki arena permainan itu mengenakan berbagai tradisi jaranan kepang dor, yaitu; udeng yang diikatkan dikepala, sapu tangan hitam terkalungkan dileher, rompi dan baju yang didominasi warna merah dan hitam, berstagen warna hitam, lantas dibalut kembali dengan ikat pinggang yang berkomposisi tiga warna; putih, merah, dan hitam. Sedang bagian bawah, penari mengenakan celana yang panjangnya dibawah lutut yang dibalut dengan sarung plekat. Sementara pergelangan kaki kanan penari mengenakan gonseng atau krimpying yang biasanya dipergunakan penari remong pada ludruk.
Setelah introduksi tari tarian, pawang memasuki arena pertujukkan dengan membawa perapian yang berupa arang dibakar dengan ditaburi kemenyan. Perapian yang dibawa oleh pawang juga menggambarkan anasir warna putih, merah, dan hitam sebagaimana yang tertuang dalam warna jaranan kepang dor. Warna warna itu memiliki arti tersendiri; pertama; sepasang jaran berwarna putih (seto) menggambarkan manusia lahir itu suci, ia tidak memiliki dosa apapun, bersih ibarat kain putih bersih. kedua jaran kepang yang berwarna merah (Wreto) menggambarkan bahwa bayi yang akan menjalani kehidupan didunia itu akan mengalami banyak mendapati permasalahan, dan tantangan. Jadi sudah menjadi kepastian dari Yang Maha Kuasa bahwa orang hidup itu merupakan gudangnya cobaan. Maka manusia itu harus bisa kreatif untuk dapat keluar dari cobaan hidup itu. “Dahulu, para pembuat jaran kepang kalau mewarnai warna merah ini tidak menggunakan cat, tetapi dengan warna darahnya. Jadi hidup itu kalau mau melewati percobaan harus ada pengorbanan”, demikian ungkap Soleh Adi Pramono. Ketiga; jaran (ajaran) itu berwarna hitam (cemani), yang menandakan bahwa kehidupan didunia ini ada akhirnya, ia akan menjalani kematian, maka manusia harus mencapai kesempurnaan hidup. Manusia mencapai kesempurnaan hidup jika ia telah mencapai fase manunggaling kawulo Gusti. Prosesi selanjutnya setelah gending gending pembuka adalah pembacaan mantra mantra dari pawang yang menyebar seiring dengan bau kemenyan (dupo ratus) yang menyebar keseluruh pelosok tempat, diharapkan membawa suasana pantengeng pamujo kepada Yang Maha Esa. “Sebetulnya bentuk kesenian apapun itu merupakan puncak daripada keindahan”, ujar M Soleh Adi Pramono, Pemimpin Padepokan Seni Mangun Dharmo, Tumpang. Bersamaan dengan prosesi padupo yang dipimpin oleh pawang, jaranan kepang yang disemayamkan berpasang pasangan sesuai dengan warnanya yang berada dipinggir arena diberikan sesaji. Pada saat itu pawang menyebutkan salam kepada segala kekuatan gaib yang berada diseluruh alam, atau juga secara khusus memberi salam kepada pepundene sebuah tempat, misal didaerah Candi Jago ini pepundene adalah Eyang Wisnuwardana. Setelah kedua prosesi itu selesai, maka itulah awal tanda mulai dibukanya ruang ekpresi spiritualitas, momen dimana penari jaranan menyiapkan dirinya untuk kalab, rasa dimana para penonton secara emosional terlibat dalam jaranan. Antara penari dan penonton bisa saling oya’ (memberikan respon yang atraktif).
Setelah diberikan sesaji dan padupan selesai, maka penari jaranan menyatukan jaranan yang telah diberi sesaji itu didalam arena. Dalam menari ini, tarian yang pertama adalah menarikan kuda yang diayunkan itu. Sejumlah 6 penari, menarikan dengan memegang kepala jaranan yang diarahkan kekanan, sedangkan tubuh kekiri. Ekpresi tari tarian ini hendak memberikan pesan bahwa kepala berarti mustiko, yang berarti pimpinan, maka para pemimpin masyarakat, adat dan agama harus betul betul dihormati, yang berarti dikanankan. Sedangkan tubuh jaran dikirikan, artinya sesuatu yang jelek harus dikesampingkan atau dikirikan. Tari tarian dengan mengayunkan jaran ini dinamakan dengan gonto gontro. (kiwo tengen, bumi langit). Selanjutnya penari lebih atraktif lagi dengan menunggangi jaranan memasuk arena. Dalam Kitab Lontara, penari jaranan itu menggambarkan prajurit Kediri menyerang Singosari di Desa Wagir sana dengan memegang menjalin. Tari tarian menunggang jaran itu sebetulnya gerak maknawi, artinya penari secara representatif mengatraksikan perilaku kuda. Berbagai atraksi dilakukan seperti jaran sirih, jaran dakur dakur, jaran mlayu drap, adalah ekpresi yang kerapkali dipertontonkan. Jadi, disanalah pelaku pelaku seni itu hendak mengimitasikan diri dengan perilaku alam. Pada saat penari jaranan kepang ini melakukan gerakan tubuh yang atraktif yang menghasilkan panas tubuh seperti orang yang sedang berzikir dan semedi, nah pada waktu itulah terbakar emosisnya, sehingga akal itu lepas sudah. Momen yang lebih magis saat para penari jaranan itu gerak melingkar yang dikenal dengan adu endas (adu kepala) jaranan sebagai pertanda dibukanya jaga alit (jiwa manusia) untuk bertemu dengan jagad gede (kekuatan makro kosmos) sehingga menyatulah keduanya, inilah yang disebut dengan kondisi kalap. Pada saat kalap, pawang semakin gencar membaca mantra sambil menaburkan beras berwarna kuning, adapula yang pakai kemenyan atau bunga kenanga yang dibarengi dengan melucutkan cambuk yang telah dimantrai pula. Niat ingsun nandur wringin truno sak jerone segoro woh lintang, yang isinya para arwah boleh datang tapi tak boleh membawa lara. Ini adalah bentuk perjanjian antara manusia dengan kekuatan gaib itu.
Pada saat pawang melecutkan cambuknya, secara magis dan spiritual menyebabkan pembelahan udara, disini ada pengertian terbukanya warono, manjinge sukmo. Memang diantara 6 penari jaranan itu tak semuanya kalab, jadi amat tergantung dengan jiwa spiritualitas penari yang bersangkutan. Dalam posisi kalab itu sang penari jaranan kepang dor akan waskito, sehingga ia dapat mengobati berbagai macam penyakit, ia dapat menolak segala macam kekuatan jahat yang hendak merusak. Namun tidak semuanya penari berhasil kalab. Sebab banyak juga tubuh (rogo) si penari kerapkali ditolak oleh kekuatan gaib atau arwah itu, sebab tubuh yang bersangkutan penuh dengan kekotoran, dan nafsu angkoro murko atau setidak tidaknya masih dipenuhi dengan hasrat keduniawian.
Inilah menurut “saya puncak dari rasa eksotiknya kesenian jaranan yang tidak dimiliki oleh kesenian lainnya”, imbuh Sholeh. Kuasa dan kendali fase kalab ini dipegang secara otoritatif oleh sang pawang. Dialah yang menentukan kapan waktunya fase kalab itu dimulai dan diakhiri. Bagi para penari yang kalab, diberikanlah makan kembali berupa kemenyan kemenyan yang telah dimantari pula. Saat kalab itu, si penari tidak harus berada dalam arena pertunjukkan, ia akan bertindak untuk kemanfaatan sosial, misalnya untuk mengobati orang sakit, bahkan sampai menangkap pencuri. Hal yang menarik tatkala pengalap melakukan atraksi pengobatan, dengan diluar kesadaran dirinya, seolah ia dituntun untuk menemukan berbagai obat dari berbagai dedaunan yang diambil dengan mulutnya. Pengalab mengumpulkan satu demi satu berbagai bahan obat obatan yang ia dapat dari alam itu untuk diserahkan kepada yang sakit untuk dijadikan ramuan obat. Sedang yang tidak kalab tetap melakukan tari tarian. Fase ini pula yang membuat hajat mengutarakan hajat atau keinginannya, misalnya; bersih desa, dll. Saat mengatraksikan gerak gerak kalab, itu seakan akan yang sedang menari bukan lagi manusia akan tetapi para dewa yang berbaur dengan manusia. Keringat penari kalab yang menetes, debu yang mengepul akibat injakan kaki, dan udara yang disemburkan dari tubuh pengalab adalah kepanjangan dari keberkahan yang mampu semakin memperkokoh rasa spiritualitas waktu itu dalam membalut penonton. Puncak kekalaban itu semua dalam kuasa pawang, dialah yang mengerti kapan harus diakhiri, untuk digantikan pengalab baru, agar fisik penari yang kalab tetap sehat. Situasi kalab yang dikendalikan oleh pawang ternyata dalam banyak kejadian harus beradu dengan berbagai daya magis yang dikirim oleh kelompok kelompok lain yang bermaksud membuyarkan pertunjukkan itu. Kontestasi kegaiban kerapkali juga muncul antara pawang satu dengan pawang lainnya. Mereka berlomba untuk merebut supremasi kegaiban dan kemagisan. Pengalaman menarik seperti yang diungkapkan oleh Tito, sewaktu ia dan kelompoknya bermain jaranan kepang di daerah Pendem, Batu penari jaranan kepangnya di kirim roh bekasan yang berniat merusak acara jaranannya oleh pawang lain. Pertarungan mistis itu membuat penari jaranan kepangnya harus mengalami mati suri selama dua jam lebih, bahkan ketika pertunjukkan jaranan kepang usai, penarinya masih mengalami mati suri. Untunglah pawang yang dimilikinya mampu menyelesaikan apa yang menjadi kewajibannya, yaitu mengembalikan kesadaran sang penari.
Komunikasi emosional dengan penonton tetap terjadi tatakala kalap, ekpresi simbolik penonton kerapkali ditunjukkan dengan berbagai atraksi seperti mengoyak, bersiul, dan saling kerjar mengejar. Inilah bagian dari pertunjukkan yang sangat menarik. Ekpresi komunikasi melalui gerak tubuh antara penonton dan penari jaranan kepang mampu menjelmakan pertunjukkan jaranan kepang dor sebagai media tolong menolong, wayuh roso, dan manifestasi keguyupan masyarakat pedesaan. Tatkala masa kalab usai, para penari jaranan memperoleh kembali masa kesadarannya. Lantas pawang dibantu oleh beberapa nayogo jaranan kepang mengumpulkan jaran kepang yang telah dipakai atraksi ditengah arena permainan. Dengan komat kamit, pawang membaca mantra sambil mengucapkan rasa terima kasih kepada Sang Hyang atas berbagai pertolongannya kepada umat manusia melalui tenaga magis yang tersalur pada tubuh penari, sambil sesekali nayogo lainnya melecutkan cambuk sebagai tanda berakhirnya manjinge kekuatan gaib tersebut. Tak lupa pula pawang mengucapkan salam perpisahan sabagai tanda berakkhirnya atrakasi jaranan kepang dor kepada seluruh pengunjung, ucapan terima kasih paling pokok ia sampaikan Yang Maha Kuasa sebab pertunjukkan jaranan kepang yang langsungkan berjalan dengan lancar tanpa ada rintangan apapun. Kini kendali dan kuasa berganti dari tangan pawang beralih ke si pengendang. Pengendang dengan sigap mengalunkan dan mengatur irama musik perpisahan pula.
Jaranan Versus Islam
Banyak ulama muslim yang ikut berpandangan dalam kesenian jaranan kepang. Hal yang begitu tegas dan jelas mengenai kesenian jaranan kepang diungkapkan oleh Kyai Farihin, Ketua Dewan Syuro NU Kabupetan Malang. Beliau menyatakan kesenian Jaranan Kepang Dor itu termasuk jenis kesenian yang syirik, dan menyekutukan Alloh SWT. Ada dua hal yang menyebabkan kesenian itu menjadi syirik, pertama ; kesenian itu menggunakan peralatan musik berupa kendang, dan suling yang didalam kitab kitab fiqih masuk dalam kategori alat alat malahi, yaitu alat alat musik yang dapat atau memiliki kecenderungan untuk dapat melupakan Alloh SWT. Kedua; kesenian itu mempersembahkan sebuah kejadian yang syarat dengan daya magis jin dan syaitan berupa sihir. Ini terlihat ketika para penari jaran kepang dor seringkali kesurupan, atau mengundang jin, atau syaitan untuk membantu dalam pertunjukkan itu supaya dapat tampil lebih atraktif.
Tatkala ditanya, mengenai Sunan Kalijogo yang menggunakan banyak alat alat musik Jawa. Pengasuh pondok pesantren salaf ini dengan cekatan menjawab; “Kenapa jaman Wali Songo, terutama Sunan Kalijaga banyak menggunakan alat alat musik seperti kendang dan suling untuk menyebarkan ajaran Islam? Sebab pada masa Walisongo kondisi tanah Jawa belumlah seperti sekarang ini, waktu itu tanah Jawa masih banyak yang belum menjadi muslim, sehingga kondisi yang mendesak waktu itu memungkinkan para auliya’ untuk menggunakan alat alat musik itu sebagai sarana dakwah atau menyebarkan ajaran Islam”, jawabnya.
“Saya, selaku Dewan Syuro NU di Kabupaten Malang harus menganjurkan para pelaku kesenian jaranan kepang dor untuk meninggalkan kesenian semacam itu sebab hanya akan membawa pada kekufuran. Perlu dicatat, jaranan kepang dor yang hanya untuk hiburan saja itu haram, lebih lebih kalau diperuntukkan sebagai media ritualisme. Kalau toh memang ada pertujukkan jaranan kepang dor diseputar pesantren, maka kami akan menghimbau pihak kepolisian untuk mewaspadainya. Kami mengakui bahwa banyak kesenian tradisi, salah satunya jaranan kepang dor mendapatkan perlindungan dari pemerintah. Kami memang tak memiliki kewenangan untuk menghentikannya, namun hanya sebatas menghimbau. Kami sebagai umat Islam akan lebih mengintensifkan dakwah kepada mereka untuk memperoleh hidayah dari Alloh”, demikian Ungkap Kyai Farihin, dari Singosari, Malang.
Sementara Ustad Mochammad Nafi’, pengasuh Pondok Pesantren Al Hikam Malang memiliki pandangan tersendiri mengenai jaranan kepang. “Seni itu adalah keindahan baik dari segi nilai maupun yang tampak. Pada jaman dulu, banyak agamawan yang membuat dan mengkreasi kesenian yang tidak saja sebagai media dakwah tapi juga simbolisasi dari agama itu sendiri yang tidak semata mata bagian dari fiqih, sebab belakangan ini ada kecenderungan agama coba direduksi menjadi fiqih semata. Saya melihat seperti jaran kepang, tandak, dan gamelan gamelan itu mempunyai pesan berupa ajakan ajakan kepada publik luas. Didalam kesenian jaranan kepang yang mengalami fase kalab dikatakan sebagai sebuah bentuk pengandaian bahwa mereka memperoleh ketenangan spiritualitas menurut saya itu sah sah saja. Namun perlu dicatat, bahwa kita sebagai manusia itu tidak bisa memahami apapun juga itu tanpa konteks. Nah, agama yang diturunkan oleh Tuhan itu hendak memberikan konteks itu. Agama itu memiliki karakter kesempurnaan, sementara manusia yang menjalankan agama itu memiliki keterbatasan dalam memperoleh kesempurnaan agama. Termasuk kesenian jaranan kepang kalau dikatakan sebagai ekpresi spiritualitas masyarakat dalam rangka menemukan Tuhan menurut saya itu juga limited. Disinilah sebenarnya konteks agama memandang kesenian jaranan kepang itu, yakni ketika ada batasan batasan agama terhadap kesenian jaranan kepang atau kesenian lainnya itu sebetulnya disebabkan oleh keterbatasan manusia didalam mempersepsi agamanya sendiri. Kita harus jadikan keterbatasan itu sebagai sesuatu yang fitrah untuk saling memahami, dan tidak saling membenci”, ungkapnya secara kalem. Ketika dimintai pandangannya mengenai jaranan kepang dalam perspektif fiqih Islam, Ustad muda kepercayaan Kyai Hasyim Muzadi menyatakan; “Orang kerapkali dalam memandang berbagai bentuk kesenian itu baik atau buruk dari kacamata Islam itu dari perspektif fiqih, misalnya dengan menjudgment dengan alatulmalahi. Saya memang setuju dengan norma alatulmalahi itu. Namun ketika kita menghakimi apakah sesuatu itu termasuk alatulmalahi atau tidak, orang memang sering berbeda pendapat. Saya punya pandangan bahwa tidak hanya kesenian jaranan kepang, apapun juga alat alat kesenian yang dapat memalingkan diri terhadap Tuhan, maka ia akan terkena ketentuan itu. Memang didalam norma alatulmalahi itu berangkat dari teks agama yang hanya menerangkan rumusan rumusan umum, alias abstrak, seperti; alat alat yang dapat memalingkan diri terhadap Tuhan, alat alat yang dapat menyakiti diri sendiri, alat alat yang dapat bersekutu dengan syaitan, jadi itu semua masih abstrak. Memang pada tataran praksisnya banyak ulama yang beda pendapat. Kalau dulu alat alat yang dikategorikan alatulmalahi oleh para ulama adalah seruling atau alat alat tiup. Coba kita lihat, kalau di Islam itu tidak ada alat alat kesenian yang ditiup, tetapi menggunakan terbang. Namun perlu dicatat bahwa seruling dikategorikan bagian dari alatulmalahi itu tidak ada sebab yang jelas. Jadi disini kita memerlukan rasionalitas kita untuk menggolongkan alatulmalahi itu. Ada hal lagi yang menjadi perbincangan menarik antara Islam dengan jaranan kepang, yaitu dalam hal memandang fenomena kalab. Ketika kalangan seniman jaranan kepang dor menyatakan bahwa kalab adalah proses manunggaling jagad ageng (makro kosmos) dengan jagad alit (raga manusia) ini akan menjadi soal ketika dimanifestasikan dalam bentuk kalab tersebut. Saya khawatir ketika bahasa abstrak seperti manunggaling kawulo gusti itu dikongkritkan dalam bentuk berkesenian itu akan tidak seutuh seperti yang didefinisikan dalam bahasa abstrak tadi, saya khawatir akan mengalami reduksi reduksi makna. Saya memiliki pandangan tentang kalab, kalab itu saya mengandaikannya sebagai bentuk perjalanan lintas dimensi. Nah, akan sangat mungkin ketika kalab dilakukan memunculkan pembonceng gelap dalam ruang ruang itu, artinya makro kosmos yang masuk itu tidak sepenuhnya manifestasi dari kekuatan gusti, tetapi kekuatan kekuatan gelap atau syaitan. Generalisasi dan simplifikasi bahwa kalab adalah bagian nyata dari manunggaling kawulo gusti itu naif menurut saya. Kalau seniman jaranan kepang memaknai bahwa kesenian jaranan adalah sebagai media untuk menemukan ajaran ajaran tentang kehidupan dan spiritualitas, maka mereka sangat naif kalau masuk dalam perangkap simplifikasi dan generalisasi itu. Mereka seharusnya belum final dengan menyatakan bahwa jaranan kepang adalah sebagai puncak manunggaling kawulo gusti. Kalau jaranan kepang didimaknai sebagai usaha menemukan ajaran, ini menandakan bahwa jaran kepang itu proses untuk becoming, itu bukan sesuatu yang telah selesai. Mestinya seniman jaranan kepang harus terus berproses, dengan tidak menyatakan kalab sebagai tujuan dari ajaran itu sendiri. Islam itu sendiri merupakan sesuatu yang becoming untuk ke darus salam. Jadi untuk mencapai darussalam, orang harus masuk pergumulan berislam itu sendiri. Saya katakan apa betul bahwa seniman seniman jaranan kepang sekarang ini menghayati perjalanan spiritualitas, seperti nenek moyangnya dulu. Jangan jangan mereka hanya masuk kesenian jaranan tidak menangkap pesan spiritualitas nenek moyangnya tetapi justru menggantungkan hidup dari kesenian jaranan kepang, jangan jangan mereka hanya sekedar ber-entertainment sehingga menganggap segala sesuatu yang ada dijaranan itu telah final”, ujarnya penuh arti.
Pernyataan tegas Kyai Farihin dan Ustad Nafi’ diatas ternyata ditanggapi dingin oleh para seniman jaranan kepang. Tito (48 tahun), nayogo jaranan kepang pegon dari Dinoyo, Malang mengungkapkan bahwa ketika masa Wali Songo, Kanjeng Sunan Kalijogo justru menggunakan jaranan kepang untuk media dakwah. Pada masa itu pula ia menandai ada beberapa pola Islamisasi yang dilakukan terhadap seni jaranan kepang, “pertama; jaranan kepang mulai mengadopsi berbagai alat alat musik yang oleh kalangan ahli fiqih Islam dikatakan sebagai alat alat malahi, atau alat alat yang dapat memalingkan diri terhadap Alloh. Maka Sunan Kalijogo melengkapinya dengan berbagai alat musik baru seperti; gong, kempul, dan bonang. Kedua; Unsur kalap, lambat laun mulai dikurangi. Tampilan jaranan dalam raut muka “Islami” ini menjadi sebatas seni hiburan yang meminimalkan unsur unsur magis, yang oleh kalangan Islam dianggap bagian dari kekuatan sihir. Ketiga; berbagai mantra dan puji pujian dalam kesenian jaranan lambat laun mulai melibatkan lafal lafal yang ada dalam Al Qur’an.”, demikian tuturnya yang analitis. Bahkan, pria yang menganggap Sunan Kalijogo sebagai Nabinya orang Jawa ini menyatakan “Saya berkeinginan sekali dapat bermain jaranan kepang didalam pesantren, sehingga saya dapat menjelaskan dan menceritakan segala sesuatunya yang menyangkut tentang jaranan itu. Biar sesama kita itu tak ada kesalahpahaman. Sebab saya melihatnya kalangan pesantren itu tidak percaya bahwa jaranan itu tidak diwarnai dengan kekuatan jin atau syaitan. Hanya satu syarat ketika saya bermain dipesantren, yaitu jangan melakukan apapun juga yang menyangkut jaranan yang sedang kami mainkan. Saya minta ajaran dipesantren tidak usah dicampuradukkan dengan bentuk bentuk jaranan yang kami tampilkan. Sungguh, mas saya ingin menampilkan jaranan kepang ini dilingkungan pesantren, sebab seumur umur saya belum pernah melihat jaranan kepang didalam pesantren”, imbuhnya. Dengan menghisap rokor kreteknya secara mendalam, pria pembuat jaranan kepang pegon ini menerawang, melamunkan enaknya pengalaman spiritualitasnya dalam jaranan kepang. Bibirnya tersenyum, sambil berkata; “Tak ada ceritanya jaranan itu mengundang setan, orang yang tak tahu dengan jaranan pastilah mereka akan menghakimi kesenian jaranan sebagai kesenian yang musyrik. Saya dalam menjalankan ritualitas dalam jaranan itu penuh dengan makna, jangan dikira itu sihir. Sajen dalam jaranan itu berarti saya ngajeni kepada Yang Maha Kuasa, juga ngajeni tempat yang saya pergunakan bermain jaranan. Tak tanggung tanggung, saya ngajeni itu pakai kemenyan yang waktu itu sebagai perlambang wewangian. Jadi ketika saya mengadapi Yang Maha Kuasa itu menggunakan kebersihan diri, seperti orang sholat supaya segala permintaanku dan masyarakat yang memiliki nadar juga dikabulkan. Kemenyan itu hanya media untuk menciptakan suasana untuk memperkuat keheningan batinku kepada Yang Maha Kuasa” imbuhnya.
Ungkapan yang sama juga di lontarkan oleh Ki Iswandi, pengelola Padepokan Seni Manggolo Yekti; “ Saya melihat pola Islamisasi yang masuk pada kesenian jaranan, terutama yang berkembang diwilayah Mataraman sangat unik. Perlu diketahui bahwa seniman jaranan kepang itu tak hanya diakui oleh masyarakat tentang kelihaian dan kesaktiannya. Namun dengan kelihaian, ketangkasan, dan kesaktian yang dimiliki oleh seniman jaranan kepanglah yang menempatkan mereka waktu itu memiliki derajat sosial yang tinggi. Nah, Sunan Kalijogo sebagai promotor Islam waktu itu meluruhkan kepemimpinan seniman jaranan kepang melewati adu kesaktian. Akibat keberhasilan Sunan Kalijogo memenangkan berbagai peperangan magis dengan seniman jarananlah, banyak seniman jaranan kepang kemudian membuka diri terhadap berbagai ajaran yang disampaikan oleh Kanjeng Sunan Kalijogo” , menurut laki laki yang tinggal di Gunung Wukir ini. Belum cukup mengungkapkan uneg unegnya, Ki Iswandi menambah penjelasannya, “Ketika kami membakar kemenyan, kami dituduh musyrik, mereka itu tak tahu nilai nilai yang terkandung maksud didalamnya. Mereka menuduh, kami menyekutukan Tuhan dengan memberikan sesaji dan membakar kemenyan saat jaranan kepang. Kami dituduh menyembah selain Tuhan. Saya katakan, bahwa kami melakukan hal itu ingin memperoleh pangestu kepada leluhur, saya tak mau melupakan leluhur. Ingat sewaktu kita lahir juga melalui mereka, nah sekarang kita melupakannya itu berarti kita tidak memiliki rumongso. Sesaji dan pembakaran kemenyan itu kami maksudkan, pertama; kami beritahukan kepada semua makhluk, bahwa saya memiliki kesenian yang digunakan untuk menghibur masyarakat. Kedua; kami ingin memberi sedekah kepada semua makhluk, sebab semua makhluk ciptaan Kang Moho Kuoso selalu saling memberi, coba kalau bumi ini tidak memberi zat makanan kepada hewan dan tumbuhan, atau kalau semua tumbuhan tidak mengahasilkan sesuatu yang dapat dipanen oleh manusia, nah itu semua pelajaran bagi kita semua”, imbuhnya.
Pernyataan lain diungkapkan oleh Sholeh, Pemimpin Padepokan Seni Mangun Dharmo dari Tumpang, Malang. Ia mengakui bahwa antara jaranan kepang dengan Islam itu memang tidak ketemu pada wilayah hukumnya. “Perlu saya tekankan bahwa antara terbangan, tiba’an dan jaranan kepang adalah sama sama media manusia untuk menemukan Tuhan, jadi sebaiknya tidak usah menghakimi satu sama lainnya. Satu hal lagi prosesi sesaji dipepunden adalah usaha manusia untuk mengingat kembali para leluhurnya. Nah ini wajib bagi tradisi Jawa, nah pada konteks ini pula antara Islam dan sesaji itu tidak ketemu, baik maksud maupun tujuannya. Biasanya kalangan agamawan Islam takut, kalau manusia asik dengan jaranan dapat melupakan Tuhan, daripada begitu lebih baik meninggalkan saja jaranan. Biasanya orang Islam yang menggunakan agama langit, maka ia tidak akan mau bersentuhan dengan adat istiadat seperti jaranan, tapi bagi penganut agama bumi yang harus wayuh roso dengan sesama, maka akan menganggap itu bagian dari ruang ekspresi yang sifatnya sosial”, ungkap suami Karen, pesinden dari Amerika Serikat ini.
Sambil sesekali mendaftar anak anak untuk berlatih tari, pria setengah baya ini mengungkapkan; “Saya tegaskan lagi, tanpa beliau yang ada dipunden, maka sebetulnya kita juga tidak ada. Ini sebetulnya hendak memberikan pesan bahwa kita itu sebagai makhluk yang turun temurun, maka sudah sepantasnya kita selalu memperingati leluhur. Kita sebetulnya menghargai prinsip prinsip penganut agama langit yang menolak budaya itu, jadi sebaiknya kita tidak usah saling mengecam, sebab jangan jangan kecaman itu tak ketemu hukumnya. Toh, Nabi Muhammad saja tidak melarang kesenian. Jadi sebenarnya kesenian itu sangat kompromistik, ia dapat menjadi artistik ritual, ia bisa pula menjadi artistik pertunjukkan”, ujarnya.
Politik Dan Jaranan; Ruang Beradu Siasat.
Jaran kepang memang menjadi seni atau tradisi kebanyakan kaum abangan di Jawa. Jaran Kepang tak hanya sebatas seni pertunjukkan, oleh kalangan abangan di Jawa merupakan nafas dan tradisi yang telah turun temurun, terutama dari kalangan agraris diseputar pegunungan. Pada era orde lama, jaran kepang banyak dikembangkan oleh partai partai waktu itu. Didaerah Jabung, Kabupaten Malang yang merupakan basis Partai Nasional Indonesia (PNI) waktu itu berbagai kelompok jaran kepang didirikan. Namun oleh Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) yang waktu itu merupakan sayap PNI memproduksi tentang simbol dan jenis jaran kepang. Di Jabung, hingga kini banyak dikenal dengan bantengan, sebagai bentuk atau muka lain dari seni jaranan kepang. Dipihak lain Partai Komunis Indonesia (PKI) yang bergerak melalui Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) juga tak kalah dalam ambil peran untuk merebut massa melalui seni jaranan kepang. Didaerah Tumpang dan Poncokusumo, Kabupaten Malang, Lekra menjadi kekuatan dominan bagi basis kesenian kesenian rakyat, seperti jaranan kepang. Sementara di Kota Malang, daerah Blimbing, Sukun, dan Kedung Kandang merupakan lahan subur bagi penyemaian kelompok kelompok jaranan kepang baik yang dikelola oleh LKN maupun Lekra. Hingar bingarnya pertunjukkan jaranan kepang waktu itu merupakan bagian dari pergerakan dan nafas politik itu sendiri, sehingga sulit untuk membedakan mana jaranan yang murni menjadi tradisi ritual masyarakat dengan mana yang jaranan politik.
Namun jaman itu segera berakhir ketika berbagai kekuatan politik dihabisi oleh orde baru, berbagai seniman jaranan kepang terutama yang berbasis Lekra banyak yang dibantai dan dibunuh. Namun bagi seniman seniman jaranan yang masih hidup, rata rata mereka banyak dipakai oleh Golkar untuk menyambut berbagai tokoh tokoh politik atau pejabat yang datang ke daerahnya. Bahkan menurut penuturan Sholeh, koreografer jaranan kepang dor ini menyatakan banyak sekali kelompok kelompok jaranan yang bermain untuk partai namun mereka sama sekali tak dibayar waktu itu. Namun dengan rela hati pula para seniman jaranan kepang itu menerimanya. Seolah mereka dapat bermain jaranan kepang saja sudah puas. Masa pada tahun 60 an agaknya menjadi trauma yang berkepanjangan bagi kelompok kelompok jaranan kepang. Mereka harus menerima banyak kenyataan pahit, ketika distigmatisasi oleh kalangan agamawan dan penguasa waktu itu sebagai seni dan tradisi yang musyrik dan identik dengan Lekra yang komunis, padahal mereka tak tahu selu beluk tentang Partai Komunis, atau ajaran komunis itu sendiri. Keadaan inilah agaknya yang memaksa mereka untuk berlindung pada penguasa, ketika Golkar menggandengnya. Bahkan untuk meminimalisir stigma stigma yang buruk, seniman jaranan kepang juga banyak melakukan negosiasi dengan berbagai perayaan perayaan pada hari hari besar keagamaan yang biasanya diselenggarakan oleh pemerintah. Hal yang begitu memprihatinkan hingga kini adalah hantu trauma itu masih begitu melekat secara mendalam dibeberapa seniman jaranan kepang, ini terbukti ketika ngaji budaya bertandang ke salah satu pawang yang tak mau disebutkan namanya, ia banyak memperingatkan agar percakapan itu tidak sampai mengusik keselamatannya, padahal percakapan itu murni berbicara pesan pesan maknawi dari seni jaranan kepang dor. “Meniko mangke mboten nyangkut kulo toh, Mas, menawi mboten nyangkut kulo inggih mboten punopo”, ungkapnya.
Pengalaman masa lalu agaknya menjadi pelajaran yang berarti bagi seniman jaranan kepang. Kini ketika angin kebebasan menerpa mereka, mereka mulai angkat bicara yang menyangkut pola kehidupan kolektifnya, terutama menjelang pemilu. “Menjelang pemilu ini saya akan siap mempertontonkan jaranan kepang dor ini kepada semua partai. Saya tak akan pilih pilih, biasanya memang jaranan kepang dor ditanggap oleh PDIP. Saya kadang kala tak enak juga kalau hanya ditanggap satu partai, sebab saya disangka menjadi bagian dari partai itu, misal; saya sering ditanggap PDIP, orang mengira saya orang PDIP. Seni tak boleh dikaitkan dengan politik. Mereka (orang partai) itu kerapkali dikibuli oleh orang seni saat ini, mereka memanfaatkan seniman untuk meraih massa, kalau hanya mengumpulkan massa saya bisa, tapi kalau disuruh untuk mencoblos partai yang bersangkutan itu urusan partai bukan urusan saya. Termasuk saya mau memilih partai apa itu urusan saya. Jadi orang tertarik pada partai itu urusan jurkam, tugas saya hanya mengumpulkan massa, kalau jurkam omongannya enak ya akan dipilih orang, tetapi kalau omongannya jurkam tak karuan ya akan dirusak massa’, demikian tutur Ki Iswandi dari padepokan Manggolo Yekti dari Gunung Wukir.
Hal yang sama dinyatakan oleh Tito, lelaki yang lahir pada tahun 1956 ini menyambut gembira hingar bingar pemilu mendatang, ia dan kelompoknya telah dikontrak oleh PKB untuk bermain jaranan rutin dan keliling empat tempat diseluruh Kota Malang. Ia juga tidak merasa terikat dengan PKB, partai manapun yang akan mengontraknya untuk bermain jaranan kepang, ia siap memenuhinya. “Kami sendiri dulunya didirikan oleh para simpatisan PDI P, bahkan ketua paguyuban kami Pak Anang Sulistyono yang merupakan anggota DPRD Kota Malang dari PDI P, namun perlu dicatat saya sendiri tidak mau jualan politik, saya tidak partisan dari partai manapun, saya hanya jualan seni, maka semua partai kami anggap sama. Saya politik No, seni Yes. Buktinya saya sekarang dikontrak PKB, dulu pernah dikontrak Muhammadiyah untuk menyambut Pak Amin Rais”, ungkapnya.
Keberanian diri seniman jaranan kepang untuk mandiri dan menjauhkan diri serta menjalin relasi yang sama dengan partai partai politik serta penguasa pada masa kini agaknya merupakan prestasi tersendiri. Kemandirian mereka secara perlahan tapi pasti agaknya perlu mendapatkan support terus menerus agar esok mereka dapat menggapai asa yang lebih baik.
Kini di Kota Malang, sesuai data yang terdapat di Sub Din Kesenian, Dinas Pendidikan Kota Malang, ada 16 kelompok jaranan kepang. Mereka adalah Putro Wijoyo, Turonggo Satriyo Budoyo, Turonggo Cipto Budoyo, Turonggo Joyo, Setyo Budoyo, Turonggo Madyobudoyo, Turonggo Mukti, Turonggo Sakti, Budoyo Turonggo Amung Roso, Turonggo Mitro Budoyo, Remaja Budaya, Krido Turonggo Deling Kidang Mas, Sari Mulyo, Among Suko, Nogo Sakti, Turonggo Satryo Budoyo, dan Turonggo Kembar. Secara bergilir semua kelompok jaranan kepang itu mendapatkan tempat untuk mentas di Taman Hiburan Rakyat “Senaputra”, pada setiap hari Minggu, disamping berbagai pertunjukkan non reguler yang di tanggap oleh berbagai kalangan masyarakat. Pemerintaha Daerah sendiri dalam pandangan seniman jaranan kepang tidak dianggap terlalu intervensi terhadap kesenian jaranan kepang. Sebagaimana yang dikatakan oleh Tito, kelompoknya tidak merasa kesulitan untuk mendapatkan nomor induk. Dirinya cukup menegeluarkan uang sebesar Rp. 17.000,- untuk mendapatkanya dan itu dipergunakan selamanya. Bahkan Ki Iswandi yang tinggal di Batu merasa mendapat angin segar dari pihak pemerintah Kota Batu. Ia menyatakan hampir semua kelompok kesenian tradisi diwilyah ini mendapatkan perhatian dari pihak pemerintah daerah. Beberapa kali pihaknya diundang oleh Dinas Pariwisata untuk mempertontonkan kesenian jaranan kepang tanpa ada seleksi apapun. Ini berbeda sewaktu Batu masih menjadi bagian dari Kabupaten Malang, waktu itu dirinya dan kelompok kelompok kesenian jaranan kepang amat sangat kurang diperhatikan. Bukannya dirinya hendak menggantungkan diri pada pemerintah, akan tetapi kesenian yang ia kelola seolah olah diperlukan kalau ada kebutuhan saja. “Mosok Mas, kesenian tradisi digae tambel butuh tok ae”, keluhnya.
Paring Waluyo Utomo.
Sumber doc. Puspek-Averroes
mengajarkan ajarane paro wali ing tanah jowo
mulo jo di lalekno