BEBERAPA abad yang lalu, ilmu biologi masih dilecehkan sebagai ilmu kuno dan dianggap tak laku. Pamornya kalah jika dibandingkan dengan fisika dan ilmu-ilmu terapan lainnya, seperti elektro, telekomunikasi, hingga komputer, dewasa ini. Namun, saat ini, dengan perkembangan biologi molekuler dan bioteknologi, perkembangan biologi eksperimental sungguh luar biasa. Ilmu biologi menjadi ilmu masa kini dan masa depan yang dapat mengubah wajah peradaban manusia.
Salah satu maskot perkembangan biologi adalah riset di bidang sel, yakni; sel punca (stem cells). Baru-baru ini, Presiden Amerika Serikat Barack Obama mencabut larangan dana untuk proses penelitian sel punca.
Banyak warga kita yang mungkin belum memahami apa itu sel punca? Apa saja manfaat sel ini untuk kehidupan manusia? Dan mengapa masalah sel punca menarik perhatian masyarakat dunia terutama kalangan gereja.
Tepat seabad lalu, pada 1908, istilah stem cells untuk pertama kalinya diusulkan oleh histologi Rusia bernama, Alexander Maksinov, pada kongres hematologi di Berlin. Alexander memperkenalkan temuannya mengenai adanya sel induk yang membentuk sel-sel darah (haematopoietic stem cell). Pada 1978, terbukti teori ini teruji kebenarannya dengan ditemukannya sel-sel punca di daerah sumsum tulang belakang manusia. Sesungguhnya, di dalam tubuh manusia dan hewan terdapat dua jenis sel yakni; sel somatic (tubuh) dan sel seksual (sperma dan sel telur). Setiap jenis sel dapat dirunut baik dari sel telur yang difertilisasi oleh sperma yang membentuk morula dan dalam lima hari menjadi blastokista, yang kemudian membentuk sekumpulan sel sperma.
Jadi, definisi sel punca adalah sebuah sel tunggal yang dapat beraplikasi sendiri menjadi sel serupa atau berdiferensiasi menjadi aneka jenis sel yang sama sekali berbeda (pliripoten). Karena itu, sel punca dapat dipakai untuk menggenerasikan sel-sel rusak di tubuh manusia.
Banyak ilmuwan, peneliti dan dokter memperjuangkan untuk dapat meneliti lebih dalam sel punca embrio manusia. Pada November 2007, dua ilmuwan Jepang, Shinya Yamanaka dan Kazutoshi Takahashi, serta James Thomson, berhasil meneliti dan menciptakan aneka jenis sel somatic dari sel punca yang berasal dari sel-sel kulit manusia.
Penelitian ini membuka kesempatan untuk terapi regeneratif tanpa dibebani problem etik karena menggunakan sel punca dari embrio manusia. Selain itu, beberapa ilmuwan mengatakan, penelitian sel punca dapat membuka jalan bagi berbagai terobosan medis. Misalnya, bagi mereka yang menderita stroke, kebutaan, diabetes, parkinson, cedera tulang belakang, dan masih banyak penyakit yang dapat disembuhkan.
Ditentang
Sel punca dapat diambil dari janin manusia yang gagal lahir atau yang digugurkan dan akan diinjeksi ke otak pasien. Sel punca diharapkan meregenerasi ke wilayah otak yang rusak karena stroke dan sel ini dapat meningkatkan kemampuan gerak serta mental pasien stroke tersebut. Namun, pemakaian janin yang digugurkan untuk menciptakan sel punca ditentang banyak pihak terutama kalangan gereja.
Gereja menolak penelitian sel punca dengan embrio manusia, karena penelitian sel punca ini sama dengan kanibalisme terhadap anak yang gagal dilahirkan karena aborsi. Dengan cara apa pun, hal itu tidak etis dan melanggar nilai etika kehidupan, karena membunuh manusia untuk membantu yang lain. Embrio muda juga memiliki status moral yang istimewa. Oleh karena itu, embrio muda harus dihormati sebagai persona yang sangat potensial. Artinya, potensialitas jiwa manusiawi sudah ada di dalam dirinya dan tidak hanya terbatas 15 sesudah pembuahan saja.
Pandangan ini diperkuat oleh teolog dan filsuf St Thomas Aquinas (1225-1274) yang menyatakan jiwa manusiawi bersifat rohani dan baka, serta dicurahkan langsung oleh Tuhan ke dalam embrio muda tersebut. Oleh sebab itu, kalangan gereja menolak keras pemanfaatan sel punca. Penelitian sel punca ini secara tidak langsung mau menggambarkan peradaban manusia zaman modern, yakni manusia adalah serigala bagi manusia lain (homo homini lupus), meskipun penelitian sel punca juga punya manfaat untuk membantu orang lain.
Kini, apa yang dikhawatirkan oleh kalangan gereja dan gerakkan pro-life mengenai fenomena kanibalisme akan benar-benar terjadi, karena Presiden Barack Obama telah menyetujui dan mencabut larangan yang dibuat oleh Presiden Bush. Obama setuju dengan diadakannya penelitian sel punca. Itu memperbolehkan perubahan yang telah diperjuangkan selama delapan tahun oleh banyak ilmuwan. Dengan penelitian sel punca itu akan dapat membantu manusia menyembuhkan sebagian penyakit. Keputusan Presiden Obama ini juga berdampak pada akan dicabutnya larangan aborsi di Amerika Serikat.
Penelitian sel punca ini telah terjadi di negara kita, terutama untuk penderita jantung. Jadi, inilah gambaran dilema peradaban kehidupan manusia pada era globalisasi, saat ini, di mana antara manfaat sel punca yang didukung oleh sebagian masyarakat Amerika dan kontroversi dari kalangan gereja. Pada dasarnya sebagai orang beriman dan hidup di negara yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, kita wajib menghormati kehidupan, biarpun tujuannya barangkali baik (menyembuhkan pasien yang lain dan memajukan ilmu pengetahuan).
Kita tetap harus berpegang teguh pada prinsip bahwa kehidupan manusiawi tidak pernah boleh dipermainkan atau dimanfaatkan untuk mencapai suatu tujuan lain. Kewajiban untuk menghormati kehidupan tidak boleh ditawar-tawar lagi, seperti barang dagangan.
Yohanes Antonius Lelaona
Penulis adalah mahasiswa STFT Widya Sasana Malang
Sumber: http://www.suarapembaruan.com/index.php?modul=news&detail=true&id=6218
Sebenarnya keputusan Obama mencabut larangangan/ membolehkan penelitian sel puncak, dari sisi ke ilmuan itu sangat baik sekali, karena bagaimanapun keilmuan itu milik dan kekuasaan Allah yang baru manusia temukan/ pelajari. Ynag perlu dinilai atau diawasi arah implementasi kegunaan keilmuan tersebut. Kalau niatnya untuk kemaslahatan umat misalnya tujuannya pengobatan atau untuk tujuan lain yang bermanfaat bagi kemanusiaan, itu sah-sah saja. Tapi kalau tujuannya untuk mempermainkan kesakralan arti hidup, misalnya mengkloning manusia seperti pada kloning anjing, babi, kelinci untuk tujuan komersialisasi, nah itu yang harus diantisipasi. Untuk itu, khusus untuk Indonesia yang masih kental dengan nilai-nilai religious sebaiknya segera dibuat undang-undangnya untuk mengatur peranan dan fungsi penelitian sel punca.
Tak bosen-bosennya birokrat gereja menjadi penghambat kemajuan ilmu pengetahuan…dia tak belajar apa pun dari kasus Galileo Galilie. Apa jadinya kalau sampai sekarang bumi dianggap sebagai poros?
Otoritas gereja harus lebih respek pada kemuliaan manusia dan peradabannya…bila dia sungguh respek pada tuhan…Kemuliaan manusia apa mungkin dicapai tanpa ilmu pengetahuan?
Seharusnya kita belajar dari argumen pro life and pro choice. Keduanya memiliki kelemahan dan kelebihan masing2. But whatever, seharusnya human dignity tetap nomor satu. Betul?