Mengapa kampanye anti-kekerasan berbasis agama tetap perlu dilakukan? Kita yang terlibat dalam jaringan 031-peacelink perlu meneguhkan argumentasi bahwa kampanye ini penting, terutama sebagai bentuk tanggung jawab atas masa lalu dan sejarah keberagamaan kita yang terlanjur ‘carut-marut’.
Kalau kita mau realistis dan berkehendak untuk menginventarisir kembali, pengalaman keberagamaan kita sebenarnya lebih sering kita tempa dengan sikap eksklusif dan intoleran. Dan demikianlah lazimnya, karena sejak kecil kita memang menerima sosialisasi sikap keberagamaan model demikian. Kalau kita mau jujur, kesadaran keberagamaan kita memang cenderung berpihak pada eksklusivitas dan intoleransi.
Sejak kecil saya hidup di lingkungan Muhammadiyah yang kaku, dan bila saya inventarisir kembali, terlalu banyak klaim-kalim kebenaran yang terlanjur mendarah daging dalam struktur bawah sadar saya, dan ini sewaktu-waktu bisa menjelma menjadi sikap intoleran yang suka mengeksklusi orang lain di luar batas kebenaran yang saya yakini. Padahal sikap demikian inilah muasal semua bentuk kekerasan yang mengatasnamakan kebenaran.
Saya yakin, pengalaman yang sama juga Anda alami di bawah payung kebenaran (lain) bernama apapun. Justru karena itu saya hendak memetakan, sebenarnya, fakta eksklusivisme dan intoleransi sebagai embrio kekerasan berbasis agama, lebih merupakan fakta epistema (kesadaran) keberagamaan kita daripada sekadar persoalan perbedaan firqah dan mazhab yang kita anut.
Sebagai sebuah fakta epistema keberagamaan, eksklusivisme dan intoleransi tidak bermazhab dan berfirqah, karena ia melampaui sekat-sekat yang diciptakan oleh kedua kekuatan tersebut. Ia lebih menyerupai kesadaran kolektif, tentang bagaimana mempersepsi dan memperlakukan perbedaan.
Dalam posisi seperti ini, kekerasan atas nama agama bisa dilakukan oleh siapapun, termasuk oleh kelompok-kelompok yang mengklaim diri mereka sebagai yang berada di garda depan inklusivisme dan toleransi. Kesadaran kolektif kitalah yang selalu memberi peluang–dan sesekali membenarkan–berbagai bentuk kekerasan atas nama agama terulang dan terulang lagi.
Nah, dalam posisi inilah, problem kekerasan berbasis agama tidak perlu kita cari-cari alamatnya di luar diri kita karena senyatanya ia tertambat erat dalam kesadaran keberagamaan kita masing-masing, tepatnya di kepala kita.
Masalah ini tidak akan benar-benar tuntas bisa diselesaikan, kecuali problem epistema ini diselesaikan, kepala ini dirawat terlebih dahulu. Dalam konteks inilah, kampanye anti-kekerasan berbasis agama selalu penting dilakukan. Bukan untuk siapa-siapa, tetapi untuk diri kita sendiri yang mewarisi semua libido eksklusivitas dan intoleransi. Tidak perlu ada kelompok yang dinegasikan dalam jaringan ini, karena nilai penting kampanye ini adalah kemampuan kita untuk mengafirmasi siapapun.Tidak perlu ada kelompok yang dipatologikan sekadar menandai bahwa kampanye ini penting.
Semakin banyak orang dan kelompok yang bisa kita afirmasi, semakin besar pula peluang kita untuk menyelesaikan problem epistema keberagamaan, dan satu persatu akar kekerasan berbasis agama itu bisa kita potongi.
Semoga…!
Akhol Firdaus
Center for Marginalized Communities Studies (C-MARs)