Ada yang tampaknya tertinggal jauh dalam sepak terjang agama-agama di negeri ini: sosiologi agama. Tentu tesis ini tampak sewenang-wenang, pun kedengaran janggal: apa hubungan antara agama dengan semesteran atau mata-kuliah bernama sosiologi agama itu?
Tulisan ini akan mencoba memberi jawab atas tesis di atas, sambil membentangkan perkembangan terakhir sosiologi agama di Indonesia dan tentu saja: isu seputar pluralisme akan dijadikan bukti bahwa akhir-akhir ini agama-agama yang beroperasi di Indonesia bekerja tanpa sosiologi agama.
Debat pluralisme
Keluarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 2005 yang menolak faham pluralisme agaknya menjadi sinyal bahwa ada wacana seputar agama di negeri ini yang problematis. MUI dalam fatwanya melihat bahwa pluralisme adalah faham yang mengajarkan kesamaan semua agama sehingga itu berarti juga menyiratkan faham relativisme. Malah, pluralisme mendaku bahwa tidak boleh ada klaim mutlak mengenai ajaran (di sini MUI secara tidak langsung, menurut saya, melihat adanya aspek ideologis dalam pluralisme), yang bagi MUI akan berakibat pada persoalan teologis ”bahwa semua pemeluk agama akan hidup berdampingan di surga”.
Tampaknya ada posisi yang bertakik-takik yang tersirat dalam cara bicara MUI di atas, yaitu bahwa wacana pluralisme bukanlah wacana yang sudah jelas dalam kata itu sendiri dan wacana pluralisme adalah wacana yang sarat dengan beban ideologis dan juga teologis.
Posisi yang berhati-hati atas pluralisme tampak dalam tulisan Franz Magnis-Suseno (2006). Beliau tampaknya menerima pluralisme sebagai penjelasan keadaan sosial, tetapi menolak kalau pluralisme dijadikan sebagai sikap teologis (dengan memberi alternatif, yaitu inklusivisme teologi) walau beliau tetap menyarankan perlunya sikap pluralis sebab sikap inilah yang memungkinkan seseorang menjadi toleran.
Menurut saya, di sini kita bisa paham akan posisi hati-hati Magnis-Suseno dan posisi tegas yang tecermin dalam fatwa MUI itu sebab memang pluralisme bukanlah istilah yang jelas dan mudah. Di pihak lain, saya malah hendak menyatakan betapa tertinggalnya wacana sosiologi agama di negeri ini sehingga silang sengketa seputar pluralisme itu tampak berujung dalam deadlock. Atau, akibat tidak adanya wacana sosiologis seputar pluralisme agama, maka belum-belum pluralisme ditanggapi sebagai persoalan ideologis (faham yang mendaku) ataupun teologis (beragama yang relativistis) sehingga ia menjadi medan konflik.
Tertinggalnya sosiologi agama di negeri ini dalam memberi perspektif yang nonideologis ataupun nonteologis terhadap pluralisme juga kelihatan dalam kesemrawutan pemakaian istilah pluralisme itu sendiri. Seolah, tanpa memilah-milah, fakta kemajemukan agama, multikulturalisme, demokrasi, dialog, dan keterbukaan teologis adalah isi keranjang dan makna pluralisme itu sehingga kelompok lembaga swadaya masyarakat (LSM) prodemokrasi, Gerakan Perempuan, Inter-faith groups, pejuang masyarakat adat, dan intelektual (agama) liberal mengambil posisi berhadap-hadapan (malah frontal) dengan semua institusi yang dianggap konservatif dan eksklusif (yang secara karikatural dilekatkan pada MUI).
Padahal, dalam wacana sosiologis agama kontemporer—yang sayangnya tidak dikembangkan di Indonesia—pluralisme mengandung paling tidak tiga kenyataan yang mendasar dalam masyarakat modern, kenyataan yang belum tentu dapat dengan mudah dikelola (James Beckford, 2003). Kalau elemen-elemen pluralisme ini dikenal, mungkin saja benang kusut tidak perlu terjadi dalam wacana kita.
Pertama, pluralisme adalah ungkapan deskriptif, mengenai de facto kemajemukan agama (religious diversity). Penjelasan ini tentu tampak gamblang walau ada sejumlah turunan maknanya. Dengan kemajemukan tentu juga berarti ada derajat otonomi dalam tradisi agama masing-masing, di mana ia mampu mengelola rumah tangganya sendiri. Jadi, ada kemandirian institusional dari agama tersebut.
Yang tak kalah menarik dari ihwal kemajemukan ini ialah bahwa dalam perkembangan mutakhirnya, posisi otonomi agama tadi mendorong transformasi internalnya, yang antara lain mengakibatkan adanya kemajemukan internal dalam satu agama (sekte-sekte). Para ahli sosiologi agama melihat adanya sejumlah pola transformasi internal agama tersebut: antara lain dalam sebentuk sinkretisme (di mana ada percampuran yang melahirkan wajah baru agama itu), bisa juga pematrian aspek baru yang menyepuh agama lokal (bricolage, sesuatu yang umum dalam ekspresi agama di Afrika), atau proses belajar, meminjam dan berkembang walau tetap mempertahankan orisinalitas agamanya (bentuk hybrid). Pendek kata, pluralisme internal agama menunjukkan adanya diferensiasi di dalam agama tersebut yang menuntut semacam keleluasaan dari agama itu dalam menentukan batas-batas dirinya.
Kedua, pluralisme juga berarti pengakuan publik akan eksistensi agama-agama tertentu, yang nanti dilanjutkan pada pengakuan negara. Pengakuan publik secara sosiologis berarti ada semacam penerimaan publik bahwa eksistensi agama tertentu itu ada tanpa menjadi ancaman bagi dirinya. Demikian juga makna pengakuan negara, yaitu bahwa agama tersebut tidak akan mengguncang kekuasaannya sehingga memang dalam setiap konteks (masyarakat atau bangsa) selalu ada kepelbagaian pola dan batas-batas penerimaan atas agama-agama yang masuk. Di sini (kalau memakai terminologi agama di Indonesia) kita membicarakan pluralisme sebagai sikap toleran (di mata publik) dan sebagai kerukunan (di mata pemerintah).
Dalam konteks pemaknaan pluralisme sebagai toleransi dan kerukunan tadi, terbentang semacam tarik-ulur yang tak terhindari. Kalau ”kita” menerima lima atau enam agama resmi, itu berarti mereka kita akui sebagai kompetitor yang sah dalam menjalankan dan menyebarkan misi agamanya. Namun, segera juga persoalan ini mendatangkan persoalan baru, adakah batas kebebasan beroperasinya agama yang sudah ”kami” akui eksistensinya itu? Bukankah kebebasan itu tidak boleh sampai mengguncang konsensus yang semula ada bahwa setiap agama hendaknya juga beroperasi demi menjaga integritas masyarakat (dan negara) tersebut.
Dalam perkembangan tertentu, masing-masing masyarakat malah menerbitkan seperangkat hukum untuk menjaga integritasnya atas kemungkinan tergerusnya agama tertentu akibat beroperasinya agama lain. Pluralisme agama dalam konteks itu memang menolak free-fight liberalism, juga menolak pasar bebas agama-agama sebab selalu ada batas-batas penerimaan sosial dari masyarakat terhadap karya dan sepak terjang agama-agama.
Pluralisme di sini berarti seperti yang diserukan dalam semboyan bhineka tunggal ika (’meskipun beragam, tunggal juga’) itu, yang dipertegas dengan sambungan kata-kata tan hana dharma mangrwa (’tiada pluralisme dalam agama’, di sini saya memakai terjemahan Rachmat Subagya dalam bukunya Agama Asli Indonesia, 1981). Dengan kata lain, sekalipun saat itu di Jawa terjadi pluralisme (”agama primal” Jawa, Hindu, dan Buddha hidup berdampingan), ada batas-batasnya: ketiga agama itu bisa ditolerir selama mereka rukun dan konsensus dalam masyarakat saat itu tidak dilanggar (kala itu konsensusnya masih bercorak kosmis, yaitu bahwa dharma itu bagaimana pun satu jua).
Pluralisme sebagai nilai: Peter Berger
Ketiga, dan di sini kita gontai—dan sayangnya sosiologi agama di Indonesia belum datang menolon—ialah bahwa pluralisme adalah sebentuk komitmen normatif. Pluralisme menjadi sebentuk misi pada dirinya, ia adalah kebenaran itu sendiri, mirip dengan tuntutan multikulturalisme. Di sini kita bisa katakan ia menjadi kelanjutan dari semangat Pencerahan sebab ia menuntut sebentuk sikap ideal (atau bahkan sikap etis) tentang kemajemukan yang nanti hendak diterapkan dalam konteks sosial. Jadi, pluralisme menjadi imperatif yang dianggap bernalar dan niscaya kalau kepelbagaian sosial hendak dikelola dengan baik sebab hanya dalam pluralisme terjamin kebebasan individual di mana religious freedom (juga freedom to change one’s religion) menjadi turunannya.
Mengutip Diana Eck, Zuhairi Misrawi mengatakan bahwa pluralisme adalah upaya menemukan komitmen di antara partikularitas-partikularitas (2005), dan komitmen itu nantinya menjadi moral untuk membangun kehidupan bersama yang lebih baik. Dengan demikian, sebenarnya agama-agama harus melepas warisan memori religiusnya tentang kesatuan masyarakat dan agama, ia harus berhenti menjelaskan baik-buruk kehidupan ini semata-mata dalam kerangka agamanya. Dengan kata lain, bahasa agama tidak sama dan tidak bisa persis diterapkan ke dalam masyarakat! Soalnya, masyarakat berisikan kepelbagaian arus informasi dan, karena masyarakat adalah interaksi dari sekian banyak pikiran dan keyakinan, maka yang harus ditemukan oleh agama ialah sebuah komitmen di luar ataupun melampaui gramatika dirinya; sebuah moral pasca-agama, moral pascapartikularitas, yaitu moral pluralisme iu sendiri.
Persoalannya tentulah apakah social fabric di negeri kita mampu menanggung jenis pluralisme demikian? Bisakah agama-agama yang hidup di Indonesia meneken akad untuk sebentuk moral sosial pluralisme sedemikian, di mana ia hanyalah salah satu peyangganya? Sebab misalnya, dalam pengalaman pluralisme di Belanda, partikularitas agama Protestan (yang harus bersanding dengan partikularitas agama Katolik) toh dari sudut sosiologis tidak lantas bisa rela begitu saja melepaskan kukunya dari masyarakat. Ada mediasi antara partikularitasnya dan pluralisme masyarakat sekular: melalui pilarisasi (verzuilen). Saat itu, di pertengahan abad ke-19, semua orang Protestan membaca koran yang sama, bersekolah di tempat yang sama, ke rumah sakit yang sama, bekerja di firma yang sama, dan berpolitik di partai yang sama. Seolah semua aspek kehidupan sosial masih 100 persen Protestan. Dengan kata lain, teologi saat itu seolah-olah adalah sosiologi. Di sini ada semacam langkah-antara (intermediary associations) sebelum memasuki masyarakat yang sama sekali lepas dari ikatan konfesi satu agama tertentu.
Sekali lagi, untuk konteks Indonesia, kita hanya tahu kesiapan agama untuk pluralisme demikian kalau sosiologi agama terlebih dulu memberitahu hasil risetnya tentang daya lentur dan integritas masyarakat kita. Kita amat perlu juga mendengar apakah ada semacam asosiasi yang memperantarai agama-agama di negeri ini sekiranya konflik normatif terjadi dalam konteks pluralisme demikian.
Di sini nama Peter Berger muncul mengemuka, bukan karena kesohorannya, melainkan karena penerjemahan buku-bukunya, khususnya seputar isu agama, yang oleh penerbit LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi Sosial) seolah sebentuk upaya uji coba pluralisme tersebut di tengah masyarakat kita. LP3ES sebagai lembaga berkumpulnya para intelektual kritis promodernitas dan pembangunan (Daniel Dhakidae, 2003) tampaknya sadar bahwa agama akan mengalami masalah dalam konteks modern itu. LP3ES pun memperkenalkan ihwal tadi dengan menerjemahkan karya Berger pada tahun 1990 mengenai metode sosiologinya (bersama Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan), lalu pada tahun 1991 mengenai krisis agama (Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial), dan tahun 1992 mengenai pencarian teologis di tengah krisis tadi (Kabar Angin dari Langit). Bahkan, bisa dikatakan perkembangan terakhir sosiologi agama di Indonesia ada di situ, yang bagaimanapun sayang terhenti di awal tahun 1990-an.
Menurut Peter Berger, pluralisme adalah isyarat bahwa agama tengah mengalami krisis sebab pada momen itulah awal agama tidak lagi memonopoli penjelasan dan legitimasi suatu masyarakat. Masyarakat modern sudah sedemikian terfragmentasi, terjadi segregasi lintas institusi di dalamnya, sehingga jalan satu-satunya agama untuk berkembang ialah dengan memasarkan dirinya di tengah kegaduhan pasar agama-agama dan ideologi. Itu pun tidak mudah sebab ia terjadi dalam kesadaran modern proses disenchantment (luruhnya tuah agama)—Langit Suci telah retak—dan agama selanjutnya secara internal dipaksa berjuang menegakkan keberterimaan nalar (plausibility) imannya di hadapan rasio modern.
Ketika datang ke Indonesia (1995), Berger mengatakan bahwa di tengah pluralisme sedemikian—yang rupanya adalah turunan proses sekularisasi—dalam diri agama terjadilah cognitive dissonance, suatu krisis akibat munculnya ide dan suasana baru yang kontradiktif dengan norma dan etik yang ia warisi. Dan menurut Berger, agama bervariasi dalam menghadapi ihwal tadi, bisa melakukan perlawanan mati-matian (dalam fundamentalisme agama), bisa terasing bertapa atau berilusi tentang rahasia-rahasia ilahi, atau melakukan tawar-menawar dengan mencoba mendukung pluralisme dari dalam agama itu (semisal teologi pluralisme).
Di sini kepentingan gagasan Berger terkait dengan situasi kita. Jadi, secara sosiologis bagaimanalah masyarakat kita menghadapi pluralisme itu? Adakah sebentuk data bahwa memang proses tawar-menawar telah berlangsung di negeri kita sehingga kita optimistis bahwa pluralisme malah akan menyehatkan tubuh agama-agama dan masyarakatnya. Atau, sebaliknya, agama-agama di Indonesia telah menghunus pedang perlawanannya terhadap pluralisme dan tidak mau menerima situasi krisis akibat goyahnya tuah agama tadi sehingga fundamentalismelah yang terlebih menjadi pilihan agama-agama atas situasi pluralisme tadi, yang tentu memberi kontribusi pada gejala kekerasan seputar agama (baik intern agama maupun lintas agama) yang terjadi akhir-akhir ini di Indonesia.
Di sini tampaknya tidak ada yang bisa menjawab dengan tuntas. Namun, ada kesimpulan yang bisa kita tarik bahwa agama memang bertumbuh sendirian dan tanpa sokongan atau pun input dari sosiologi agama di negeri ini—demikian juga para elitenya—dan sosiologi agama tampak terhenti di hadapan kegaduhan sosial pasca-Reformasi di Indonesia.
Oleh Martin Lukito Sinaga, Teolog dan Pengajar pada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0603/04/Bentara/2478379.htm