Prawiro (54), buruh tani menginjak-injak padi agar terlepas dari batangnya di Bantul, DIY. Selama musim panen ia menjadi buruh tani dengan upah Rp 20.000 per hari.
Hidup serba kekurangan sudah menyatu dalam kehidupan se- orang buruh tani. Makan dengan lauk seadanya, bahkan hanya makan tiwul (singkong yang dikeringkan), adalah hal biasa. Bisa menyekolahkan anak hingga SMA hanyalah impian, karena tak ada dana untuk membiayai anak bersekolah. Bisa sekolah hingga SLTP saja sudah merupakan keajaiban.
Munali (48 tahun), seorang buruh tani asal Desa Pepe, Kecamatan Sedati, Sidoarjo, Jawa Timur, bisa menggambarkan bagaimana nelangsanya kehidupan seorang buruh tani di negeri ini. Hidupnya serbakekurangan. Makan hanya dengan lauk seadanya, dua anaknya putus sekolah karena tidak ada biaya untuk menyekolahkannya.
“Penghasilan sebagai buruh tani hanya untuk bisa makan. Selebihnya kami hidup serbakekurangan,” kata Munali, kepada SP, di tengah sawah dengan tanaman padi menghijau milik majikannya, Sumali, Senin (10/8).
Kedua anaknya, Rokhmad dan Ainur Rokhim, sekarang harus bekerja sebagai buruh pengangkat kain di kawasan Kapasan, Surabaya. Keduanya tidak bisa melanjutkan sekolah dan hanya mengantongi ijazah SMP, karena ketiadaan biaya. Munali tak mampu membiayainya.
“Kedua anak saya sudah mampu membiayai diri mereka sendiri dengan bekerja sebagai buruh pengangkat kain. Sebagai buruh tani, saya rata-rata hanya berpenghasilan Rp 10.000 sehari. Uang itu hanya cukup untuk makan, dan pasti tidak cukup untuk membiayai anak-anak saya sekolah,” ujar Munali, yang terlihat kepanasan bekerja di sawah siang itu.
Saat kedua anaknya masih sekolah, uang yang diterima Rp 300.000 per bulan itu, harus diambil sebagian untuk membiayai mereka.
“Dulu untuk keperluan mereka juga diambil dari penghasilan sebagai buruh tani yang sedikit itu, untuk membeli buku dan sedikit uang jajan mereka.
Untuk membiayai mereka melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi sangat tidak mungkin dengan penghasilan yang hanya sebesar itu,” ujarnya lagi.
Pekerjaan sebagai buruh tani sudah digeluti Munali sejak dia sudah bisa bekerja.
Tanpa memiliki keterampilan lainnya, kecuali bekerja sebagai buruh tani membuat kehidupan Munali tidak mengalami perubahan meskipun presiden di negeri ini sudah beberapa kali berganti dan sekarang Indonesia akan merayakan HUT Kemerdekaan yang ke-64, tanggal 17 Agustus 2009 mendatang.
Di tengah kehidupan yang memprihatinkan tersebut, Munali masih mempunyai harapan terhadap Presiden SBY, yang terpilih untuk memimpin negeri ini hingga 2014 mendatang. “Saya berharap presiden terpilih bisa membantu para buruh tani dengan mengucurkan kredit murah dalam bentuk lahan pertanian. Dengan demikian kami tidak hanya bekerja sebagai buruh tani, tapi bisa memiliki lahan yang dikerjakan sendiri,” tambahnya.
Buruh tani, kata Munali, dibelikan lahan pertanian melalui bank milik pemerintah atau pemerintah daerah. Sertifikat kepemilikan dibuat jaminan, sementara buruh tani berkewajiban mengangsur dalam jangka panjang, yang tidak memberatkan. Melalui cara ini diharapkan buruh tani dapat mengelola lahan pertanian miliknya, tanpa harus bergantung kepada majikannya.
Begitu pula dengan Ny Prawiro (54 tahun) yang bekerja sebagai buruh tani sejak berusia muda. Dia hanya bekerja ketika ada garapan di sawah. Upah yang diterima untuk mengolah sawah adalah 25 kilogram beras setiap musim panen. Jika bekerja secara harian, dibayar hanya Rp 20.000 per hari.
“Upahnya paling-paling habis untuk makan harian sekeluarga,” kata Ny Prawiro , perempuan asal Bantul, Jawa Timur.
Namun perempuan dengan empat anak ini mengaku mampu menyekolahkan salah seorang anaknya hingga lulus STM. “Yang lulus STM kemarin sudah bekerja di bengkel motor. Toh jadi buruh juga kan,” ujarnya menegaskan nasibnya secara turun-temurun.
“Dulu simbah (kakek-Red) memang punya sawah, tapi sudah habis dibagi-bagi buat anak yang laki-laki, kebetulan saya keturunan dari ibu atau anak perempuan, jadinya tidak kebagian. Jadilah kami mburuh,” katanya.
Kalau pekerjaan di sawah sedang lowong, Ny Prawiro, banting stir menjadi tukang cuci atau tukang seterika di usaha-usaha laundry. Kalau pas musim tanam, juragan langganannya selalu mempercayainya. “Pas musim tanam, saya biasanya bekerja nonstop selama dua minggu. Ya, bayarannya Rp 20 ribu sehari. Tapi kalau pas musim panen, setiap lahan 2 kali 14 meter, saya dapat 25 kilogram beras, tergantung dari berapa kemampuan saya,” katanya lagi.
Keterampilannya itu diturunkan juga kepada anaknya yang perempuan. Sejak masih di usia SMP, anak-anaknya sudah pandai menanam padi hingga memanen. Jadi kelak, tongkat estafet sebagai buruh tani akan turun ke anak perempuannya. Artinya, tidak akan ada perbaikan nasib bagi anak keturunannya.
Entah sampai kapan generasi buruh ini terus menurun kepada anak cucunya. Tanpa bantuan pemerintah untuk menyekolahkan anak-anak mereka, kehidupan buruh tani ini tidak akan bisa ditingkatkan. Turun temurun mereka tetap menjadi buruh tani yang miskin. Potret kehidupan Munali dan Ny Prawiro telah berbicara tentang hal ini.
Data BPS pada 2002 menyebutkan, buruh tani pada 1995 jumlahnya sekitar 5,064 juta keluarga, dan meningkat menjadi 7,10 juta keluarga pada 1999. Pada 2003 tercatat ada 11,7 juta keluarga. Kesulitan ekonomi yang mengakibatkan lapangan kerja sangat terbatas serta tidak adanya perbaikan nasib, akan membuat jumlah buruh tani terus meningkat. [152/080]
Sumber: Suara Pembaruan, 12 Agustus 2009, SP/Fuska Sani Efani
http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=9721