Sekalipun kompetisi menuju terpilihnya seorang pemimpin sering kali diwarnai dengan perseteruan, kampanye hitam atau saling menjelekkan dan saling serang, namun sudah se-patutnya saat pemimpin sudah absah terpilih maka keadaan dikembalikan normal. Semua pihak dan kelompok yang berkompetisi kembali lagi pada posisinya sebagai anak bangsa tanpa pandang suku dan kelompoknya. Itulah keadaan ideal yang diharapkan. Sekalipun demikian faktanya tidak selalu seperti itu sebab di negeri kita budaya kompetisi itu didasari bukan semata-mata oleh semangat demokrasi, melainkan semangat untuk berkuasa. Akibatnya adalah hilangnya kemampuan untuk menghargai jiwa demokrasi sebagai sesuatu yang luhur.
Yang kita ketahui, mereka yang kalah hilang kebanggaannya sebagai anak bangsa, dan menjadi oposisi kerap dianggap kurang terhormat dibandingkan yang memerintah. Dari sisi pemenang, budaya yang dikembangkan juga tidak jauh lebih baik. Kelompok pemenang merasa bahwa legitimasi yang diberikan kepadanya adalah legitimasi kekuasaan belaka, bukan sebuah legitimasi atas nama demokrasi. Bila yang pertama didasarkan atas kehendak untuk menguasai, yang kedua dilandasi semangat untuk memimpin dan mengayomi. Dan dibandingkan usaha keras untuk mewujudkan yang kedua, yang pertama nampaknya jauh lebih diutamakan.
Pemimpin terpilih merasa dirinyalah satu-satunya pemegang kedaulatan dan pemilik segalanya. Yang tampak lebih sering adalah ambisi kekuasaan daripada usaha keras membangun bangsa dari keterpurukan. Disadari atau tidak, hal-hal seperti inilah yang memperlambat, kalau dikatakan membuat mandek, perjalanan demokrasi Indonesia ke arah lebih baik. Demokrasi pun mudah dikelabui. Antara apa yang dijanjikan dan yang dilaksanakan jauh panggang dari api. Antara ucapan dan tindakan tidak terdapat keselarasan.
Semakin kuat hal-hal seperti ini hidup di bumi Indonesia maka semakin kuat pula rakyat melihat demokrasi Indonesia sebagai sesuatu yang absurd, legitimasi yang dihasilkan tidak banyak bermanfaat buat perubahan nasib rakyat, dan demokrasi adalah sebuah formalitas yang semu tidak memiliki makna. Akibatnya rakyat melihat semua itu tidak lebih dari sekadar tipu daya. Ini salah satu persoalan terbesar Indonesia masa kini. Tanpa sadar, kita semua ambil bagian dalam melestarikannya.
Mata Burung
Atas semua persoalan yang dikemukakan di atas maka seorang pemimpin nasional seharusnya berpedoman pada prinsip bird eye view atau panda-ngan mata burung, dan bukan pandangan mata kuda. Pemimpin yang menganut “panda-ngan mata burung”, sebagaimana burung terbang yang mampu melihat ke seluruh sisi di bawahnya, akan melihat rakyat Indonesia tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, antargolongan, gender, kelompok politik (SARA-GK) mana dia berasal. Pemimpin yang bertipe seperti ini akan memprioritaskan yang terpenting buat rakyat, bukan untuk kepentingan golongannya sendiri. Dengan pandangan mata burung, pemimpin seperti ini akan melahirkan kebijakan yang berguna bagi seluruh rakyat tanpa melihat mereka berasal dari kelas borjuis atau proletar, agama, suku bangsa atau kelompok politik mana rakyat berasal. Rakyat adalah rakyat yang memiliki identitas keindonesiaan dan kemanusiaan.
Wawasan pemimpin demikian akan sangat luas, berjangka panjang, dan menghindari pementingan kebijakan buat segolongan kecil kelompok dengan mengorbankan segolongan besar kelompok sebagaimana terjadi di masa lalu dan masih berlangsung hingga kini. Sering kali yang terjadi adalah pemimpin dengan pandangan mata kuda atau biasa diistilahkan dengan “kacamata kuda”. Pemimpin seperti ini hanya mampu melihat ke arah kelompok yang menguntungkan dirinya. Ia sulit melihat ke segenap sisi. Pemimpin seperti ini hanya mementingkan kelompoknya saja atau kepada segolongan kecil rakyat yang menguntungkan kelompoknya. Selebihnya, mereka yang berjumlah amat besar, yang umumnya adalah golongan menderita dan miskin, tidak mendapatkan prioritas.
Kendati mereka dipilih oleh rakyat secara demokratis, namun ada sebagian besar rakyat yang tidak memilihnya karena berbagai alasan. Rakyat pendukung kedua pasangan yang tidak terpilih atau mereka yang tidak punya pilihan alias golput adalah juga manusia Indonesia. Dan kepada yang bersangkutan, pemimpin baru tetap diharapkan membela kepentingan mereka. Tentu saja ini sesuatu yang berat bila “kacamata kuda” yang digunakan.
Presiden Republik Indonesia
Pemimpin baru Indonesia bukanlah presiden dari pendukungnya saja, namun adalah Presiden Republik Indonesia. Bukan presiden kelompok tertentu. Di sinilah rakyat berharap agar visi perubahan dan perbaikan yang disampaikan pada janji semasa kampanye direalisasikan sungguh-sungguh. Rakyat mengharapkan perubahan mendasar, yakni sebuah paradigma baru bahwa presiden bukan lagi penguasa melainkan pelayan rakyat.
Sang pemimpin dikontrak selama lima tahun menjalankan agenda utama, yakni mengurangi secara signifikan angka korupsi yang begitu besar di dalam tubuh bangsa ini. Agenda ini bisa dijalankan bila presiden memiliki keberanian untuk melepaskan diri dari kepentingan partai politik (kepentingan golongannya sendiri). Presiden juga perlu menyadari bahwa korupsi di Indonesia sering terjadi karena “koalisi” partai politik dan pemilik modal hitam. Inilah kenyataan yang membuat pemberantasan korupsi akan sulit dijangkau, karena koruptor secara politik “terlindungi”.
Selain itu yang paling mendasar adalah memperbaiki kualitas hidup masyarakat yang semakin hari semakin menurun. Kemiskinan, pengangguran dan perbaikan kualitas pendidikan adalah agenda paling besar dan mendesak untuk segera dicarikan jalan keluar yang benar-benar cermat, dengan kebijakan yang sepenuhnya berpihak kepada rakyat kecil. Kesadaran rakyat untuk menentukan pilihan secara otonom menandakan bahwa rakyat telah (hampir) sepenuhnya sadar politik. Pilihan mereka tidak lagi ditentukan oleh kesukuan, gender, agama dan ideologi, melainkan pada penilaian atas kemampuan untuk mengatasi problem bangsa ini.
Dengan logika ini, kita akan mengatakan bahwa kekuatan rakyat sekarang tidak tergantung pada mesin politik, melainkan pada asumsi kemampuan figur pemimpinnya. Di sini kredibilitas seseorang amat mempengaruhi pilihan rakyat. Dengan begitu, pemimpin yang kurang memperhatikan aspirasi rakyat, berikutnya dia akan menghadapi tuntutan rakyat. Sebagai pemimpin bangsa, dan bukan pemimpin golongan maka seorang presiden akan mendasarkan pilihan kebijakan yang ditempuhnya dengan pertimbangan yang matang, dan berdasarkan asumsi untuk keuntungan rakyat semesta. Di sinilah perlunya keberanian untuk menentukan orang-orang terpilih dalam jajaran kabinet mendatang. Bukan semata-mata berdasarkan pertimbangan kekuasaan, melainkan demi kepentingan rakyat umum.
Sinar Harapan, Selasa, 14 Juli 2009 13:35
Benny Susetyo Pr, Sekretaris Dewan Nasional Setara.
Sumber: http://www.sinarharapan.co.id/cetak/detail-cetak/article/pemimpin-untuk-semua/
banyak artikel.terusiiiiiiiiiiiiiiiin
kita selamatkan NKRI dan Panasila
eko Wahyudi 087837910001
Memang bener pemimpin utk semua. Tetapi yg ideal utk Indonesia adl pemimpin yg berani tegas utk memperbaiki kualitas hidup masyarakat yang semakin hari semakin menurun ini. Lima th ke depan ini SBY hrs membuktikan bhw rakyat tak salah memilihnya.