Penalaran Induktif Syatibi dan Perumusan al-Maqosid Menuju Ijtihad yang Dinamis

Asmuni M.Th
Di dalam dua karyanya Al-Jabiri menjelaskan model studi Islam klasik. Dengan argumentasi yang apik dan sistematis, Al-Jabiri sampai pada kesimpulan bahwa sistem dan struktur epistemologi ilmu-ilmu naqli dan aqli tidak lepas dari model nalar bayâni, burhâni dan juga model nalar ‘irfâni. Menurut Al-Jabiri bahwa Syatibi mengalihkan studi ushûl al-fiqh dari al-mumâsilât al-qiyâsiyah al-zanniyah (praktek prinsip persamaan dalam qiyas yang bersifat relatif) dalam kerangka epistemologi bayâni menjadi al-mumârasat al-istidlâliyah al-qath’iyah (praktek inferensial yang bersifat mutlak ) dalam kerangka epistemologi burhâni.
Beberapa tahun sebelum karya Al-Jabiri “Takwin al-Aqli al-Arabi” yang memposisikan filsuf dan ulama muslim sebagai kelompok al-burhaniyun (pendukung nalar burhani), Toha Abdurrahman menulis makalah yang berjudul ‘An-al-istidlâl fi an-Nash-shi al-Khulduni. Dalam makalah tersebut Toha menjelaskan metodâe nalar Ibn Khaldun dalam Muqoddimah. . Menurut Toha semula Ibn Khaldun ingin menggunakan nalar burhâni untuk mengembangkan teori ilm al-‘umrani (ekisticks), namun, lanjut Toha ibn Khaldun akhirnya menggunakan metode al-hijaji (metode argumentasi rasional) ala kaum ushuli seperti qiyas tamsil (reasonning by analogy), as-sabru wa at-taqsim (sandage and division atau dilema), dan qiyâs al-murakkab (silogisme majmuk atau polisilogisme ). Metode-metode ini tegas Toha digunakan pula oleh Syatibi dalam merumuskan al-maqôsid.
Toha mengemukakan beberapa alasan, antara lain bahwa dalam catatan pendahuluan Al-Muwafaqât, Syatibi menetapkan perlunya penyimpulan al-qoth’i (pasti) dalam al-ushûl sebagai dasar pengembangan fiqh. Untuk memperoleh penyimpulkan al-qoth’i, Syatibi menggunakan dan mengadopsi metode pembuktian (tadlil) yang lazim digunakan oleh kaum ushuli.
Sedangkan untuk merumuskan universalia yang meyakinkan (kulliyât al-qoth’i), Syatibi menggunakan metode al-istiqrô’ (induksi). Akan tetapi metode pembuktian induktif ini tidak sama dengan metode induksi yang pernah dikembangkan oleh Aristoteles.
Dari uraian di atas terungkap sejumlah permasalahan yang berkaitan dengan nalar induktif. Tulisan ini memfokuskan uraian tentang induksi Syatibi dalam kaitannya dengan perumusan al-maqôsid (al-masâlih) sebagai basis ijtihad di dunia moderen.
Induksi al-Syatibi
Dalam al-Muwafaqât istilah induksi disebut al-istiqrô’. Induksi sendiri berasal dari bahasa Latin in (dalam, ke dalam) dan ducere (mengantar). Kata ini diterjemahkan pertama kali ke dalam bahasa Latin barangkali oleh Cicero dari istilah Aristoteles epagoge. Pembedaan antara induksi dan deduksi bukan lagi ciri khas filsafat. Pembedaan ini membedakan satu jenis induksi dari satu jenis deduksi. Jauh lebih memuaskan jika menganggap induksi sebagai penalaran probabel (mentak) dan deduksi sebagai penalaran pasti.
Dalam ilmu logika, induksi didefinisikan sebagai suatu bentuk penalaran dari partikular (juzi’yat) ke universal (kulliyât). Premis-premis yang digunakan dalam penalaran induktif terdiri atas proposisi-proposisi partikular. Sedangkan konklusinya adalah proposisi universal. Karena proses penalaran yang ditempuh bertolak dari partikular ke universal atau dari khusus ke umum, induksi pada hakikatnya adalah suatu proses generalisasi, yakni berdasarkan hal-hal partikular yang teliti, diperoleh konklusi universal.
Jika hal-hal partikular itu mencakup keseluruhan jumlah dari suatu jenis atau peristiwa yang diteliti, maka yang demikian itu disebut induksi dengan enumerasi lengkap. Dalam pandangan Aristoteles, induksi sempurna adalah proses sampai pada suatu genus berdasarkan suatu pengujian terhadap semua spesiesnya. Jika demikian induksi merupakan generalisasi dilakukan hanya atas beberapa hal partikular, bahkan dapat pula hanya atas suatu hal khusus atau satu peristiwa khusus, maka yang demikian ini disebut induksi tidak lengkap. Dalam penelitian ilmiah, sering kali tidak mungkin menerapkan induksi lengkap. Karena itu, lazim digunakan adalah induksi tidak lengkap.
Penalaran induktif digunakan selama berabad-abad. Aristoteles dianggap sebagai orang pertama memperkenalkan metode induksi. Dan induksi lengkap, menurutnya memberikan kesimpulan atau pengetahuan yang pasti dan meyakinkan (qath’i). Berbeda dengan induksi tidak lengkap menghasilkan preposisi atau premis yang kebenarannya relatif atau zanni. Hasil penalaran pertama, menurut Aristotelean sangat meyakinkan karena mencakup satuan-satuan yang diteliti secara induktif, yaitu bentuk-bentuk yang nyata (al-mu’ayyanat) atau partikular-partikular (al-juz’iyyat) yang semua sifat-sifat persamaannya sesuai dengan setiap bagian yang diinduksi itu.
Jadi dengan menggunakan cara kerja induksi, kita dapat secara sah menarik kesimpulan umum tertentu yang dianggap benar dan berlaku umum, kebenaran kesimpulan itu apakah berbentuk hukum atau teori ilmiah harus dianggap sebagai bersifat sementara. Artinya walaupun kita secara sah mendasarkan diri pada berbagai fakta yang ada untuk menarik suatu kesimpulan yang benar, ini tidak menjamin bahwa kebenaran kesimpulan itu bersifat mutlak karena ciri dasar dari induksi selalu tidak lengkap.
Syatibi seperti juga umumnya logikawan mengakui bahwa induksi selalu tidak lengkap, tetapi menurutnya induksi tidak lengkap sama halnya dengan induksi lengkap melahirkan pengetahuan yang selalu pasti dan benar (‘ilm al-daruri). Syatibi juga mengklaim bahwa istiqrô’ ma’nawi,demikian ia manamakannya, sama dengan mutawatir ma’nawi. Keduanya menghasilkan kesimpulan yang pasti dan benar. Itulah sebabnya ia menggunakan metode induksi untuk merumuskan al-maqôsid syari’ah yang lebih banyak mengacu kepada pernyataan-pernyataan umum al-Qur’an dan Sunnah.
Syatibi dan Teori al-Maqôsid
Dalam studinya Al-Raisuni mengemukakan bahwa al-maqôsid Syatibi berdiri atas dua asas, pertama, kausasai atau enumerasi syari’ah (ta’lil) dengan menarik maslahah dan menolak mafsadah. Kedua, al-maqôsid sebagai produk induksi menjadi dasar ijtihad terhadap kasus-kasus yang belum tersentuh oleh nash dan qiyas.
Menurut Syatibi al-ushul atau kaidah-kaidah fundamental pengembangan hukum Islam terfokus pada kulliyât al-syari’ah yang meliputi daruriyât, hajiyât dan tahsiniyât. Ketiga tingkatan al-masâlih yang menjadi kulliyât al-syari’ah ini bersifat qoth’i karena beberapa alasan :1.bahwa sebagian kulliyât mengacu kepada prinsip rasional (ushul aqliyah); 2.Kulliyât itu merupakan hasil dari induktif secara menyeluruh (istiqro’ kulli) dari dalil-dalil syari’ah. Baik ushul aqliyah maupun kulliyat sama-sama melahirkan pengetahuan yang selalu pasti (al-ma’rifah al-yaqiniyah). 3.perpaduan antara prinsip rasional dan induksi menyeluruh yang bersifat qath’i tersebut melahirkan kaidah yang qath’i pula. Inilah yang disebut ushul al-fiqh, kata Syatibi
Kebenaran dan kepastian (al-qath’i wa al-yaqin) dalil induksi dibentuk oleh sejumlah juz’iyat yang bersifat relatif atau zanni. Namun perpaduan dan kolektifitas dalil-dalil tersebut melahirkan kulliyât atau prinsip-prinsip umum yang pasti (al-kulli al-qoth’i).
Syatibi mengatakan bahwa bukti-bukti doktrinal (al-adillah al-sam’iyah) secara parsial hanya akan melahirkan pengetahuan yang zanni. Namun perpaduan antara semua dalil-dalil itu dengan cara induktif menghasilkan pengetahuan yang qath’i. Dalil-dalil yang diakui (al-adillah al-mu’tabarah) menurut Syatibi, adalah hasil pembuktian induktif dari sejumlah dalil-dalil zanni yang secara kolektif mengandung makna yang sama sehingga melahirkan kesimpulan yang pasti. Karena itu, lanjutnya, metode pembuktian induktif mirip dengan al-tawatur atau mutawatir ( premis-premis yang ditransmisi ) yang menghasilkan pengetahuan yang pasti dan bahkan induksi menjadi bagian dari al-tawatur itu sendiri.
Konsep Al-Qoth’i Menurut Syatibi
Sebagaimana disebutkan di muka bahwa kulliyât dan ushul al-fiqh menurut Syatibi sama-sama bersifat al-qoth’i, tetapi apakah maksud qoth’i tersebut? Toha Abdurrahman membagi al-qoth’i menjadi dua yaitu qoth’u as-Shurah atau al-Qoth’u as-shuwari (kepastian formal) yaitu suatu ungkapan keyakinan yang disimpulkan dari akurasi inferensial (istidlal ) yang dihasilkan melalui mekanisme yang sangat tepat pada perpindahan dari premis kepada kesimpulan. Kedua, qoth’u al-madhmun atau al-qoth’u al-madhmuni (kepastian makna dan isi) yaitu suatu ungkapan tentang keyakinan yang disimpulkan dari kandungan premis (perposisi) yang masuk dalam inferensial sekalipun media yang digunakan berupa mekanisme perpindahan yang tidak selalu tepat. Al-qath’i bentuk kedua ini tampaknya menjadi pilihan Syatibi. Artinya bahwa al-qoth’i adalah suatu keyakinan terhadap proposisi-proposisi universal yang dihasilkan oleh nalar induktif dari dalil-dalil syari’ah yang bersifat ith-thirod (teratur), tsabat (tetap), dan al-hakimiyah (penentu). Pilihan ini tidak mengganggu metode istidlâl yang diadopsinya dari kaum ushuli dan cara istidlâl lain yang digunakan oleh Syatibi. Di sini terlihat keselarasan antara al-madhmûn alk-qoth’i (kepastian makna atau isi) dengan al-istidlâl al-hijaji (nalar dengan argumentasi rasional).
Dari uraian di atas pertanyaan yang mengemuka adalah apakah yang mendorong Syatibi untuk mencari al-qoth’i dengan melakukan praktek nalar al-hijaji? Mungkinkah itu karena ketidakmampuannya terhadap nalar burhâni? ataukah karena lebih disebabkan oleh karakteristik al-maqôsid yang menjadi fokus perhatiannya?
Tentu saja jawabannya bukan karena Syatibi tidak mampu menggunakan nalar burhâni, melainkan karena karakteristik al-maqôsid itu sendiri sehingga mendorongnya untuk menggunakan nalar al-hijaji. Hampir dapat dipastikan bahwa mereka yang menekuni ilmu-ilmu sosial (al-‘ulum al-hayyah) seperti ilmu humaniora harus menguasai dan menggunakan metode nalar hijaji karena relevansinya yang kuat dengan wacana yang berkembang di tengah masyarakat.
Nalar Burhâni ala Syatibi
Di dalam al-Muwafaqât, Syatibi tidak menggunakan istilah al-burhân terutama dalam diskusinya tentang al-qoth’i, apalagi menggunakan kata tersebut dalam pengertian metodologi tertentu. Andaikata istilah tersebut muncul tidak lepas dari konteks pengertian umum seperti ad-dalil dan al-istidlâl, itu pun hanya beberapa kali. Kenyataan ini berbeda dengan keyakinan Al-Jabiri yang memasukkan Syatibi ke dalam kelompok al-burhaniyûn (pendukung nalar burhani).
Untuk memastikan kebenaran klaim Al-Jabiri tersebut benar. Pertama-tama yang harus dicermati adalah definisi al-burhân itu sendiri. Al-Jabiri dalam banyak hal kata Abdurrahman merumuskan berbagai definisi termasuk definisi al-burhân secara subyektif sehingga menimbulkan berbagai persoalan.
Ada dua model definisi al-burhân yang dikemukakan Al-Jabiri. Pertama definisi asli dan kedua definisi hasil formulasi Al-Jabiri sendiri. Definisi bentuk pertama disebutkan Al-Jabiri dalam diskusi tentang sistem epistemologi (andhimah ma’rifiyah). Dalam definisi ini al-Jabiri menegaskan bahwa al-burhân dibangun di atas beberapa sifat, yaitu: 1.metode nalar al-burhân adalah produk rasionalisme Aristotelean. 2.metode al-burhân terkait dengan instrumen penyimpulan al-qiyas al-jami’ (syllogism unifierlink) dan instrumen induktif yang bersifat eksperimen indrawi dan enumerasi sebab. 3. metode al-burhân tidak membutuhkan sumber pengetahuan yang lain yang bersifat tekstual.
Apakah ketiga sifat atau unsur tersebut harus ada (ala sabil al-jam’i) dan melekat pada diri seseorang sehingga ia dapat dikategorikan sebagai al-burhaniyun ataukah dengan terpenihinya salah satu sifat saja sudah dapat mewakili sifat-sifat lain (ala sabil al-badal). Tampaknya al-Jabiri tidak memperdulikan apakah unsur-unsur tersebut terpenuhi keseluruhan atau sebagiannya.
Akan tetapi kalaupun unsur-unsur al-burhân itu terpenuhi secara keseluruhan dan menjadi syarat esensial untuk menentukan seseorang sebagai pendukung nalar burhânî (al-burhânîyah), namun dapat dipastikan bahwa proyek al-maqôsid sangat tidak refresentatif untuk menempatkan Syatibi ke dalam kelompok al-burhânîyûn. Apalagi dengan mencermati kriterium asli yang ketiga yang hanya mengandalkan sumber-sumber rasional tidak mungkin selalu sahih bagi Syatibi mengingat beliau di dalam al-Muwafaqât dan al-I’tisôm sangat lantang menyuarakan prinsip bahwa “al-‘aql mengitu dan selalu tunduk pada naql” atau dengan bahsa Syatibi sendiri dalam catatan pendahulun kesepuluh:”la yasrahu al-aql fi majâl an-nazr illâ biqodri mâyusarrihuhu an-naql” , di samping itu obyek kajian Syatibi adalah sesuatu yang berkaitan dengan syari’ah sehingga metodenya berbeda dengan metode yang ditempuh oleh ahli ilmu konvensional yang selalu mengesampingkan aspek sakralitas (al-muqaddas). Sedangkan Syatibi tidak lepas dari metode para mujtahid yang menyatakan bahwa naql adalah hakim bagi ‘aql. Atas dasar ini maka penisbatan Syatibi kepada al-burhânîyûn menjadi kurang beralasan.
Akan tetapi kalau kriterium al-burhânîyûn itu tidak mesti semuanya dalam arti bahwa hanya salah satunya saja, maka penisbatan tersebut mungkin saja sah dan dapat diterima. Namun sehubungan dengan ini perlu dicermatai lebih jauh proyek al-maqôsid Syatibi tersebut. Di sinilah letak pentingnya pencermatan yang seksama atas dua kriterium lain yang melekat di dalam al-burhânîyûn. Akan tetapi apabila kriterium itu hanya membutuhkan dan mengedepankan rasionalitas dan mengabaikan aspek tekstualitas yang sakral (nas) maka kriterium tersebut semestinya sudah gugur berdasarkan argumentasi di atas. Karena dengan keikutan dan ketundukan ‘aql kepada naql sudah tidak mungkin lagi mempertahankan rasionalisme Aritotelean, dengan bahasa Toha al-ma’qûl al-aqlî al-aresthi. Bukankah Syatibi mengkritik filsafat Yunani karena dua alasan prosudural yang nilai ilmiahnya sulit dipungkiri: pertama bahwa filsafat terjebak pada masalah-masalah abstrak yang teoritis tanpa dibarengi oleh aksi atau perbuatan (‘amal), sementara yang diperlukan adalah keselarasan antara ilmu dengan perbuatan atau teori dengan peraktik, keduanya tidak akan terpisahkan. Kedua, bahwa metode filsafat terlalu complication (at-ta’qîd) dan composition (at-tarkîb) sementara yang dibutuhkan adalah mendekatkan metode-metode yang mengantar kita kepada ilmu pengetahuan secara efektif. Adapun kriterium asli yang kedua yang berkaitan dengan al-burhânî dan induksi sebab (istiqrô’ sababi), maka akan mengalihkan perhatian kita kepada definisi formulatif nalar burhânî yang dirumuskan oleh Al-Jabiri sendiri. Dalam konteks diskusinya tentang Syatibi, Al-Jabiri menampilkan dan membatasi al-burhân pada tiga sifat yaitu: a, mengikuti metode al-istintâj atau qiyâs al-jâmi’, b, mengikuti metode istiqrô’ dan c, mempertimbangkan maqôsid syar’i.
Dalam kaitannya dengan kriterium formulatif yang pertama yaitu melakukan penyimpulan deduktif (al-istintâj) melalui al-qiyâs al-jâmi’, tahapan-tahapan prosesnya bila dihubungkan dengan produk Syatibi tidak mungkin benar, hal ini terjadi karena Syatibi sejak semula mengesampingkan al-qiyâs al-jâmi’ (silogisme kategorik) yang merupakan nama awal bagi qiyâs al-hamlî dari dua aspek yang sangat fundamental: pertama dari aspek at-tasannu’, (pembuatan) karena qiyas ini menafikan syarat al-istidlâl al-tabî’î atau dalam istilah Syatibi “al-umî”, artinya dalam hal ini Syatibi sepakat dengan pendapat mayoritas (al-jumhûr), dan kedua, dari aspek al-ta’aqqud (kompleksitas) karena dalam penyusunan bentuk sillogisme ini sangat bertele-tele sehingga tidak epektif dan akan mengacaukan sistem berpikir untuk memperoleh hal-hal yang diperlukan.
Adapun unsur kedua dalam definisi al-burhân yang diformulasikan sendiri oleh Al-Jabiri adalah “mengikuti metode induksi”. Syatibi memang menggunakan metode pembuktian induktif, namun induksi yang digunakannya itu tidak dapat digolongkan ke dalam sistem epistemologi burhânî (an-nizâm al-burhânî). Karena induksi model ini kendati menghasilkan kulliyat sebagaimana juga induksi Syatibi, tetapi sifat konklusinya tidak meyakinkan atau tidak pasti sebagaimana dikatakan Aristoteles. Karena ia membutuhkan penyimpulan silogistik (al-istintâj al-qiyâsî) sebagai referensi (sanad) yang menjadi dasar bangunannya. Sementara induksi Syatibi menghasilkan kesimpulan yang al-qoth’i (pasti) tanpa membutukan referensi silogisme apapun, karena ke-qot’i-annya bersifat qoth’un madhmûn atau kepastian isi yang mengikuti kullîyât yang sejak semula memiliki sifat qoth’i. Model penalaran ini disebut prinsip tadhâfar al-adillah atau tarâkum al-adillah (prinsip kolaborasi atau akumulasi dalil). Menurut prinsip ini dalil-dalil zanniyah secara kolektif menghasilkan al-qoth’i. Artinya dengan adanya kolaborasi antara dalil-dalil zanni merubah status dalil-dalil tersebut menjadi qoth’i. Dengan ini dapat dipastikan bahwa induksi Syatibi merupakan sistem baru yang lebih unggul dari nalar burhânî sehingga hukum Islam yang dikembangkan ala model Syatibi tersebut adalah hukum yang empirik di satu pihak, dan di pihak lain adalah hukum yang ajeg, baik dalam teori maupun dalam praktek.
Enumerasi Sebab Mengikuti Enumerasi Tujuan
Dalam perspektif filsafat hukum Islam bahwa pencermatan terhadap al-maqôsid secara khusus merupakan percermatan terhadap al-goyât (tujuan). Sehubungan dengan ini ada dua aspek yang penting yaitu:
Pertama, al-qoth’i menurut Syatibi tidak ditentukan oleh pengkorelasian antara hukum dengan sifat atau sebab-sebabnya, melainkan pengkorelasian antara hukum dengan hikmahnya atau ‘illat-‘illat-nya. Artinya ke-qoth’i-an itu berdiri atas enumerasi tujuan (ta’lil al-go’i), bukan atas enumerasi sebab (ta’lil sababi). Dengan demikian kesimpulan Al-Jabiri yang mengatakan bahwa Syatibi menggunakan nalar burhâni atas prinsip enumerasi sebab agak kurang tepat.
Akan tetapi perlu ditegaskan bahwa apabila kita melakukan studi terhadap enumerasi sebab dan enumerasi tujuan yang dilakukan kaum ushuli sebelum dan sesudah Syatibi dapat diperoleh kesimpulan bahwa orang yang pertama-tama melakukan enumerasi sebab adalah mereka yang menjadikan al-ausof (sifat-sifat) sebagai dasar penetapan hukum. Misalnya, (memabukkan adalah sifat yang menjadi dasar pengharaman khamr), mereka tidak menjadikan al-goyat (tujuan) sebagai alasan penetapan bagi hukum (seperti melindungi akal) sebagai alasan pengharaman minuman keras. Jadi dalam perspektif Al-Jabiri, mereka yang menjadikan as-sababiyah (hubungan kausalitas) lebih akrab dengan lalar burhâni daripada mereka yang mengambil enumerasi tujuan sebagai pertimbangan hukum.
Kedua, bahwa al-qoth’i yang dikonsepsikan Syatibi bukan qoth’iyatu al-madhomin ad-dalaliyah (kepastian isi berdasarkan penunjukan makna), melainkan qoth’iyatu al-madhomin al-akhlaqiyah (kepastian isi menurut etis religius). Selama qoth’iatu al-maqosid (kepastian tujuan syari’ah) tidak masuk dalam konteks qoth’iyatu al-mdhomin yang dibangun atas prinsip hubungan kausalitas, melainkan atas tujuan, maka al-madhomin yang ditetapkan oleh tujuan syari’ah merupakan aplikasi dari nilai etis relelegius (madhomin ‘amaliah qoyyimah). Dengan demikian, al-qoth’i menurut Syatibi harus bersumber dari muatan nilai etis religius (al-madhomin al-akhlaqiyah). Oleh karena itu klaim Al-Jabiri bahwa Syatibi masuk dalam sistem epistemologi burhâni (an-nidhom al-ma’rifi al-burhani) menjadi kurang tepat.
Dengan mencermati karakter enumerasi tujuan dan dasar-dasar pembentukannya yaitu nilai-nilai etis religius, sebetulnya Syatibi lebih tepat dikatakan masuk ke dalam sistem epistemologi ‘irfani (an-nizom al-‘irfani) mengingat tiga catatan pendahuluannya (muqaddimah) yang keseluruhan berjumlah tiga belas sebagai pengantar metodologi yang ia gunakan sebagai pendekatan dalam karyanya al-Muwafaqât.
Ketiga pendahuluan itu terdiri dari pendahuluan ke lima, pendahuluan ke delapan, dan pendahuluan ke dua belas. Pendahuluan ke lima menjelaskan bahwa al-‘amal (perbuatan) ada dua macam: ‘amal al-qulub (perbuatan hati) dan ‘amal al-jawarih (perbuatan fisik). Pendahuluan ke delapan menjelaskan bahwa ilmu terkait dengan perbuatan yang selaras dengan ilmu itu sendiri. Pendahuluan ke dua belas berbicara bahwa suatu ilmu harus diambil dari para mutahaqqiqun (ulama profesional dan kritis). Selain itu, Syatibi juga menghargai dan mengutip dari Al-Gazali seorang tokoh yang juga pakar ilmu akhlak bahkan nama Al-Gazali disebutnya secara berulang-ulang di dalam al-Muwafaqat. Di samping itu sebagian besar bahkan melebihi dua pertiga halaman bab pembahasan ini dikhususkan oleh Syatibi untuk menjelaskan pengertian al-qoshdu dalam bab al-maqôsid. Selain itu, Syatibi juga menegaskan bahwa perundang-undangan (tasyri’) adalah sebagai penjelasan dari makarim al-akhlaq (etika religius).
Al-Maslahah Sebagai Asas Syari’ah
Hubungan antara teori hukum dan perubahan masyarakat merupakan salah satu dari sekian permasalahan pokok dalam filsafat hukum. Hukum Islam sebagaimana dipahami oleh para Orientalis memiliki karakter ruang lingkup yang terbatas (tahdid), tetap (sabat), pasti (qath’i), dan abadi (dawam) dan karena itu hukum Islam tidak dinamis dan tidak mampu mengikuti perkembangan masyarakat dan beradaptasi dengannya. Biasanya pengaruh perubahan yang terjadi di tengah masyarakat sangat kuat terhadap keberadaan dan eksistensi hukum sehingga filsafat hukum baru menjadi kebutuhan mendesak. Lalu bagaimana dengan fiqh Islam. Mampukah hukum Islam beradaptasi dengan perubahan-perubahan itu padahal sebagaimana dilukiskan Orientalis bahwa fiqh Islam memiliki sifat keagamaan (diniy), sakral (muqaddas) dan karena karakteristiknya yang permanen (sabit). Sebagian orientalis diantaranya Snouck Hurgronje berpendapat bahwa fiqh Islam hanya mencerminkan “teori kewajiban”. Artinya lebih mencerminkan teori etika ketimbang teori hukum dalam pengertian terminologinya. Jadi hukum Islam sesuai dengan karakteristiknya merupakan hukum agama yang kaku (jamid) yang tidak menerima perubahan dan adaptasi dengan dinamika perkembangan masyarakat. Pendapat ini disertai oleh beberapa alasan antara lain: 1, hukum Islam sebagai hukum yang komprehensif dan mutlak menolak perubahan apapun dalam dirinya sendiri baik berupa konsep maupun lembaga, 2, Karakteristik sumbernya dan metode yang berkembang pada masa pembentukan telah menjauhkannya dari lembaga-lembaga hukum dan perangkat negara dan perubahan masyarakat. 3, Hukum Islam tidak mengembangkan metode yang sejalan dengan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat.
Sikap para orientalis tersebut setidaknya berangkat dari dua hal pokok: pertama sumber hukum Islam adalah kehendak Tuhan (iradah ilahiyah) yang bersifat permanen (as-sabat) dan mutlak (al-ithlaq). Hukum Islam juga memiliki hubungan kuat dengan ilmu Kalam bahkan fiqh tunduk pada kalam terutama yang berkaitan dengan keesaan mutlak (al-wahdaniyah al-mutlaqah) dan ini menjadikan fiqh Islam keluar dari ruang linkup akal dan kehendak manusia (al-iradah al-basyariyah). Kedua bahwa fiqh Islam mencerminkan lebih banyak sistem kaidah-kaidah akhlak daripada hukum.
Alasan pertama dibangun atas pemisahan antara akal dan wahyu, dan asas yang kedua dibangun atas pemisahan atara hukum dan akhlak. Pendapat ini didukung oleh J. Schacht, C. H. Toy, N. J. Coulson dan H. A.R. Gibb.
Dalam pembahasan ini kita tidak akan mengulas dan mengungkapkan kelemahan-kelemahan pendapat para orientalis itu. Hanya saja yang perlu ditegaskan bahwa pendapat tersebut lebih bersifat teoritis dan belum melihat bagaimana fiqh Islam berkembang dan diperaktekkan dalam kurun waktu yang cukup lama di tengah masyarakat yang religius.
Adapun dari aspek metode (al-minhaj) semua sistem hukum biasanya berusaha menjadi sempurna dan abadi dan juga dinamis sehingga mampu menjawab kebutuhan masyarakat. Hukum Romawi, misalnya dalam mengatasi masalah ini berusaha memisahkan antara jus civile yang dianggap kaku dengan jus honorarium yang memiliki sifat yang fleksibel, dinamis dan di balik kekakuan common Law maka suatu pengembangan direalisasikan melalui Principles of Equity yang dibangun di atasnya sistem peradilan untuk menyempurnakan berbagai kekosongan pada hukum umum. Seperti halnya hukum Romawi tersebut, di dalam fiqh Islam pun juga telah dilakukan pengembangan metode untuk melengkapi teori-teori sumber hukum yang empat dan mengisi kekosongan yang belum terpenuhi oleh sumber-sumber yang empat tersebut sebagai akibat cara pandang yang kaku dan tektualis yang selalu bermuara pada kaidah-kaidah qiyas. Pengembangan metode ini antara lain dengan nalar al-istihsan, al-istislah dan siyasah syar’iyah.
Menurut Syatibi bahwa tujuan pokok pembuat undang-undang (Syari’) adalah tahqiq masalih al-khalqi (merealisasikan kemaslahatan makhluk), dan bahwa kewajiban-kewajiaban syari’ah dimaksudkan untuk memelihara al-maqasid al-syar’iyah.
Syatibi sebagaimana disebutkan di atas membagi al-masalih menjadi tiga tingkatan yaitu daruriyah, hajiyah dan tahsiniyah kemudian setelah melakukan analisis mendalam terhadap hubungan ketiga tingkatan ini, beliau menyimpulkan lima kaidah yang akan mengontrol al-masalih tersebut. Kelima kaidah tersebut yaitu: 1. bahwa al-masalih al-daruriyah menjadi pokok dari al-masalih lainnya seperti al-hajiyat dan al-takmiliyat, 2. Bahwa kekacauan al-masalih al-daruriyah mengakibatkan kekacauan pada al-hajiyat dan al-tahsianiyat, 3. Dan bahwa kekacauan al-hajiyat dan al-tahsiniyat tidak akan mengganggu keberadaan al-daruriyat, 4. kekacauan al-tahsini dan al-haji secara mutlak akan sangat mengganggu eksistensi al-masalih al-daruriyah, 5. untuk menjaga al-darury seyogyanya memelihara al-haji dan al-tahsini.
Kemudian Syatibi menjelaskan bahwa maslahat keduniaan dilihat dari dua aspek: pertama aspek tempat keberadaannya (mawaqi’ al-wujud), dan kedua aspek keterkaitan tempat keberadaan itu dengan nas (al-khitab).
Dari segi mawaqi’ al-wujud tidak akan ditemukan masalih dan mafasid semata. Akan tetapi biasanya dalam al-masalih itu terdapat al-mafasid atau sebaliknya. Yang menjadi pertimbangan di sini adalah aspek mana yang paling dominan. Apabila yang dominan itu adalah al-maslahah maka itulah maslahat yang dimaksudkan oleh Syari’. Sebaliknya apabila yang dominan itu a-mafsadat maka inilah mafsadat yang dimaksudkan oleh Syari’. Namun penting untuk diperhatikan bahwa maslahah yang diinginkan itu tidak dimaksudkan untuk mencampurnya dengan memelihara mafasid. Al-masalih yang diakui oleh syara’ bersifat murni dan tidak diwarnai oleh mafsadah, demikian pula al-mafasid tidak akan diwarnai oleh al-maslahah sedikitpun.
Syatibi membatasi dawabith al-maslahah (kriterium maslahah) menjadi dua: pertama maslahat itu bersifat mutlak, artinya bukan relatif atau subyektif yang akan membuatnya tunduk pada hawanafsu. Dan kedua maslahat itu bersifat universal (kulliyah) dan universalitas ini tidak bertentangan dengan sebagian juziyat-nya.
Dalam konteks tersebut dapat dikemukakan sebuah pertanyaan : apabila realisasi terhadap al-maslahah adalah tujuan dari pembuat undang-undang (Syari’) maka mengapa kita tidak menentukan hukum syari’ah sesuai dengan apa yang kita anggap maslahat? Dan apabila realisasi maslahat dengan menarik manfaat dan menolak madarat adalah tujuan filsafat konvensional (wadh’i) seperti halnya dalam syari’ah maka dimanakah letak perbedaan antara keduanya?
Suatu hal yang tidak dapat diragukan adalah bahwa semua filsafat dan agama baik samawi maupun ardi bertujuan untuk mewujudkan maslahat manusia. Tidak terdapat perbedaan bahwa maslahat menjadi titik konsentrasi tasyri,’ filsafat dan menjadi tujuan keduanya. Hanya saja yang menjadi perbedaan adalah : bagaimanakah karakteristik maslahat yang dimaksudkan itu? dan apa pertimbangan yang harus diperhatikan dalam menentukan bahwa sesuatu itu mengandung maslahat atau mafsadah ?
Dalam pandangan Islam, maslahat memiliki dua karakteristik yaitu mutlak (al-itlaq) dan universal (al-kulliyah). Untuk mengukur apakah sesuatu itu maslahat atau mafsadah dapat dilihat dari dua aspek yaitu : mawaqi’ al-wujud. Sehubungan dengan ini maka aspek yang dominan yang harus dimenangkan, dan tentu saja dengan melihat nas (al-khitab) yang memiliki keterkaitan dengannya. Sedangkan filsafat meletakkan maslahat secara parsial dan dari satu aspek saja, dan kerapkali menyingkirkan pertimbangan al-fada’il al-akhlaqiyah (keutamaan akhlak), kehendak Tuhan dan aspek akhirat dari segi lain. Sehingga kriterium maslahat menurut filsafat konvensional adalah hawa nafsu dan bersifat temporal. Dengan demikian, al-maslahat akan kehilangan ciri kemutlakan dan universalitasnya.
Perubahan Hukum Karena Perubahan al-‘Adah
Syatibi melihat bahwa hubungan hukum syari’ah dengan al-‘awaid (praktek faktual sehari-hari) jauh lebih kuat dari pada hubungannya dengan akal sekalipun dalam doktrin kalam Mu’tazilah bahwa akal dapat mengetahui baik dan buruknya sesuatu, namun ini sesungguhnya tidak lepas dari hukum yang lahir yang sesuai dan selaras dengan hati nurani atau jiwa dan dengan al-‘adah secara keseluruhan.
Istilah al-‘adah menurut Syatibi meliputi penggunaan bahasa, kebiasaan, tradisi dan praktek seharai-hari di tengah masyarakat. Syatibi membagi al-‘adat menjadi dua macam : 1. ‘awaid syar’iyah: adalah al-‘awaid yang diakui oleh dalil syara’ atau yang dinafikannya. Dan ini bersifat permanen seperti semua sesuatu yang bersifat syar’i tidak akan berubah atau berganti dengan adanya perbedaan pendapat mukallaf di dalamnya.
Syatibi menjelaskan bahwa perubahan hukum karena adanya perubahan pada al-‘awaid tidak berarti adanya perbedaan pada aslul khitab al-syar’i. Akan tetapi maksudnya bahwa al-‘awaid apabila berbeda-beda maka setiap adat kembali kepada aslun syar’i atau sumber syari’ah yang akan menjadi patokan hukumnya. Ushul khitab syar’i bersifat permanen setiap ‘adah yang baru membutuhkan ijtihad dengan cara ilhaq atau menyesuaikannya dengan ushul syar’iyah. Apabila al-‘adah berubah maka berubah pula hukumnya, yang demikian ini bukan berarti ada perubahan pada sumber hukum atau al-khitab al-syar’i, melainkan karena al-‘adah itu baru dan belum disebutkan di dalam sumber hukum. Sehingga ia membutuhkan pembahasan dan metode perundang-undangan yang baru pula.
Kekacauan Pembagian al-Masalih Kaum Ushuli
Sebagian kaum ushuli mengklaim bahwa “makarim al-akhlaq” atau akhlak mulia masuk kategori tahsiniyat dalam al-maqosid al-syar’iyah dalam pengertiannya yang ketiga yaitu “al-masalih” . Cara pandang seperti ini adalah suatu kekeliruan. Kaum fuqaha’ dan kaum ushuli memasukkan pembagian al-masalih ke dalam ibadat, mu’amalat dan al-‘adat menjadi tiga macam: al-masalih al-daruriyah yaitu suatu kemaslahatan yang apabila tidak terpenuhi dapat merusak sistem kehidupan masyarakat baik bersifat keagamaan maupun keduniaan, al-masalih al-hajiyah yaitu menempati posisi lebih rendah dari pada yang pertama, yaitu apabila masalih ini tidak terpenuhi tidak sampai merusak tatanan masyarakat hanya saja akan mengakibatkan beberapa kesulitan dalam kehidupan, dan al-masalih al-tahsiniyah yaitu menduduki posisi lebih rendah dari pada al-hajiyah. Sifat al-masalih al-tahsiniyah ini berfungsi untuk melengkapi dua al-masalih yang ada di atasnya.
Al-masalih al-daruriyah meliputi lima perkara yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Pengelompokan ini kurang tepat jika dilihat dari dua sisi yaitu cakupan al-masalih al-daruriyah yang hanya meliputi lima jenis saja, dan dari sisi kekhususan al-masalih al-daruriyah pada jenis-jenis yang lima tersebut.
Adalah tidak mungkin membatasi al-daruriyat pada lima jenis tersebut karena di samping tidak memenuhi persyaratan pembagian yang logik, juga tidak memenuhi metode pembagian yang lazim menurut ilmu logika. Hal ini tampak sekali bahwa cakupan al-masâlih yang terdiri dari lima pokok itu tidak mencegah kemungkinan masuknya unsur-unsur lain ke dalamnya. Itulah sebabnya sebagian kaum ushuli yang lain memasukkan al-‘aradh” dan “al-‘adl”. Jadi dalam pembagian ini tidak terdapat syarat differensial yang sangat diperlukan dalam pengelompokan dan pengkategorian sesuatu. Akibatnya satu unsur dari unsur-unsur ini tidak dapat dibedakan dengan unsur-unsur yang lain seperti dalam memelihara jiwa dan akal. Dalam pengelompokan al-masâlih tersebut juga tidak memenuhi syarat-syarat pengkhususan, sehingga tidak ada satu unsur yang lebih khusus dan lebih spesifik dari unsur yang sudah dibatasi itu.
Seperti juga halnya tidak mungkin menerima menyendirinya al-masâlih al-daruriyah terhadap jenis-jenis tersebut. Karena hukum yang berkaitan dengan al-masâlih al-hajiyah dan al-tahsiniyah masuk pula ke dalam jenis-jenis al-daruriyah. Misalnya maslahat yang berkaitan dengan kebolehan memburu yang dikelompokkan ke dalam maslahah hâjiyah berkaitan juga dengan memelihara jiwa yang menjadi maslahah daruriyah. Manakala kelima jenis ini menajdi bagian yang tercakup dalam al-masâlih al-daruri, al-hâji dan al-tahsini maka tingkatan manakah yang harus lebih utama atau diutamakan. Dengan demikian, pembagian tersebut belum melukiskan struktur al-masâlih secara hirarkis logik. Atau lebih tepat ketiga kategori al-masâlih itu dimasukkan ke dalam konteks al-gôyat al-kulliyah al-quswa (tujuan universal yang paling tinggi) di mana setiap kelompok dari pada al-masâlih berusaha untuk mewujudkannya dengan cara menentukan perbuatan mukallaf dari aspek maslahat dan mafsadatnya. Jika demikian, kelima al-masâlih di dalam kelompok al-daruriyah sama dengan al-qiyam al-akhlâqiyah (nilai-nilai etika yang tinggi) yang sangat dirasakan oleh sebagian kaum ushuli terutama Syatibi dengan mewarnai al-masâlih itu dengan akhlak. Inilah yang mendorong dia untuk mengatakan bahwa semua syariat sepakat untuk mengambil lima unsur dalam al-masâlih al-daruriyah dengan alasan bahwa ia adalah makna yang abadi yang diakui oleh fitrah manusia.
Sebagaimana disebutkan di muka bahwa jenis maslahah tidak hanya terbatas pada yang lima, mengingat masuknya “makarim al-akhlaq” pada semua jenis al-masalih, fenomena ini sesungguhnya mengharuskan kita untuk membuat metode pembagian al-masalih yang baru sebagai alternatif. Al-masalih yang kami maksudkan adalah sebagai berikut :
1. Qiyam al-naf’u wa al-darar atau “al-masalih al-hayawiyah” yaitu makna-makna etis yang berdiri bersama semua manfaat dan madarat dan meliputi semua hal-hal yang konkrit (material dan fisik). Maka perasaan yang sesuai dengan semua makna ini adalah al-lazzah (senang) jika memperoleh manfaat dan rasa sakit jika memperoleh madarat. Yang masuk kedalam kategori ini adalah al-masalih yang berkaitan dengan jiwa, kesehatan, keturunan dan harta.
2. Qiyam al-hasan wa al-qubh atau al-masalih al-aqliyah yaitu makna-makna etis yang berdiri bersama kebaikan (al-mahasin) dan keburukan (al-qabh) yang meliputi jiwa dan akal. Perasaan yang sejalan dengan makna ini adalah kesenangan (al-farh) jika memperoleh kebaikan dan kesusahan atau kesedihan jika memperoleh malapetaka atau kejahatan. Al-masalih yang masuk ke dalam kategori ini sangat banyak atara lain keamanan, kebebasan, pekerjaan, perdamaian, kebudayaan dan kebebasan berpendapat.
3. Qiyam al-salah wa al-fasad atau “al-masalih al-ruhiyah” yaitu makna-makna etis yang berdiri bersama al-masalih dan al-mafasid yang berkaitan dengan kemampuan spritual dan nonpisikis. Perasaan yang sejalan atau sesuai dengan makna-makna ini adalah kebahagiaan (al-sa’adah) pada saat memperoleh maslahat dan kesengsaraan pada saat ditimpa oleh al-fasad. Yang termasuk kategori tersebut adalah aspek-aspek spiritual seperti al-ihsan, al-rahmah dan mahabbah (cinta) khusyu’ dan tawadhu’.
Penutup
Dari uraian di atas kita melihat betapa metodologi hukum Islam tidak pernah diadopsi dari metodologi Yunani. Cara-cara nalar kaum ushuli merupakan produk orisinil muslim dan andaikata terdapat persamaan barangkali hanya pada aspek penamaan bukan pada aspek esensial. Salah satu bukti kuat tentang hal ini adalah nalar induktif Syatibi. Meski metode ini diperkenalkan oleh Aritoteles namun Syatibi memiliki perespektif lain tentang induksi ini. Menurutnya induksi adalah mengetahui sesuatu yang universal dengan seluruh partikulernya. Dengan demikian al-maqôsid sebagai produk nalar induksi (tidak lengkap) bersifat pasti dan meyakinkan terlebih seluruh kulliyatnya mendapat legalitas dari hasil kolaborasi antara sejumlah dalil.
Namun demikian hirarki al-maqôsid (al-masâlih yang pernah ditawarkan Syatibi) dan juga kaum ushuli yang lain seperti dharuri, hâji dan tahsini secara hirarkis tidak selalu dapat dipertanggungjawabkan secara logika. Oleh karena itu dalam tulisan ini penulis memperkenalkan hirarki al-masâlih yang lebih relevan dan kontekstual dengan era moderen. Hirarki al-masâlih yang baru ini adalah yaitu pertama, al-masâlih al-hayawiyah, kedua al-masâlih al-aqliyah dan ketiga al-masâlih al-rûhiyah. Pengembangan hukum Islam hendaknya diorientasikan untuk melindungi ketiga maslahat ini dengan mengacu kepada prinsip umum (kulliyat) syari’ah yang pasti dan universal. Wallahu a’lamu bi as-sawab.

Daftar Bacaan
Abdurrahman,Thoha.1998. Al-Lisan wa Al-Mizan awu At-Takautsar al-aqli. Dar al-Baidho’: Al-Markaz as-Saqofi al-‘Arabi.

_____ .1994. Tajdid al-minhaj fi Taqwim at-Turats. Dar al-Baidho’: Al-Markaz as-Saqofi al-‘Arabi.

‘Ajam, Rafiq Al-.1996. Mausu’ah Mushtalahat ‘Ilmi al-Mantiq ‘inda al-‘Arab. Beirut : Maktabah Lubnan Nasyirun.

‘Asyur, Muhammad Thohir ibn. 1988. Maqosid al-Syari’ah al-Islamiah.Tunis: al-Syarikah al-Tunisiah li al-Tauzi’.

Bagus, Lorens.2000. Kamus Filsafat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Bazdawi, Al-. Tanpa Tahun. Ushul al-Bazdawi. Karaci.: Markaz ‘Ilm Adab.

Dawud, Muhammad.1304 H/1984. Nazariyatu al-Qiyas al-Ushuli Minhaj Tajribi Islami Dirasah Muqoranah. Iskandaria: Dar al-Da’wah.

Duraini, Fathi al. 1990. “Manahij al-Ijtihad wa al-Tajdid fi al-Fikr al-Islami”, Majallah al-Ijtihad, no.2, tahun 1990, Libanon.

Farhun, Burhanuddin ibn. Tanpa Tahun., Ad-Dibaj al-Mazhab fi Marifati A’yan ‘Ulama al-Mazhab. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah.

Fasi, ‘Allal al-. Tanpa Tahun. Maqosid al-Syari’ah al-Islamiyah wa Makarimuha. Maroko : Maktabah al-Wahdah al-Arabiyah, Al-Dar Al-Baidho’.

Gazali, Muhammad al-. Tanpa Tahun. Al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul. Beirut: Dar Al-Arqom bin Abi Al-Arqom.

Goodman, Nelson. Tanpa Tahun. “The New Riddle of Induktion “, in The Theory of Knowledge.

Jabiri, Muhammad ‘Abid al-.1992. Bunyatu al-Aqli al-‘Arabi Dirosah Tahliliyah Naqdiah linazmi al-Ma’rifah fi as-Saqofah al-Arabiyah. Beirut: Markaz dirosat al-wahdah al-‘Arabiyah.

_____ . 1994.Takwin al-Aqli al-‘Arabi. Beirut: Markaz Dirosat al-Wahdah al- ‘Arabiyah.

Keraf, A .Sonny, dan Mikhael Dua. 1995. Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Khudori, Muhammad.1938. Usul al-Fiqh. Cairo:Mathba’ah al-Istiqomah.

Maher, Abdu al-Qadir Muhammad Ali.1984, Al-Mantiq al-Istiqroi, Beirut : Daru al-Nahdhah al-‘Arabiah li al-Thiba’ah wa al-Nasyr.

Makhluf, Muhammad bin Muhammad. 1349H. Syajarat an-Nur Zakiyah fi Thobaqat Malikiyah. Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi.

Mas’ud, Muhammad Khalid Mas’ud. 1995.Shatibi’s of Islamic Law. Islamabad: Islamic Research Institute).

Maududi, Abu’l A’la.1960. Islamic Law and Constitution. Lahore: Islamic Publications.

Max, Black.1973. The Justification of Induction”, in A Modern introduction to philisophy, New York: the Free Press.

Muzaffar, Muhammad Ridha al-. 1414H/1995.al-Mantiq. Beirut: Dar al-Ta’aruf li al-Mathbu’at.

O’Hear, Anthony.1990. An Introduction to the Philosophy of Science, Oxford: Oxford Univ. Press.

Popper, Karl.1986. Objective Knowledge, A Revolutionary Approach. New York: Clarden Press Oxford.

Raisuni, Ahmad al-. 1992. Nazariyat al- Maqosid ‘inda Al-Imam Syatibi. Riyadh : al-Dar al-‘Ilmiah li al-Kitab al-Islami.

Rapar, Jan Hendrik.1996. Pengantar Logika Asas-Asas Penalaran Sistematis. Yogyakarta:Kanisius.

Razi, Fakhruddin, al. 1992. Al-Mahshul fi ‘Ilm al-Ushul, tahqiq Jabir Al-’ulwani. Beirut: Muassasah al-Risalah.

Regis Jolivet, A.Vloemans dan A.B. Hutabarat.1985. Logika. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Reichonbach, Hans, ” The Pragmatic Justification of Induction”, in the theory of Knowledge.

Shini, Sa’id Isma’il. 1415H/1994.Qawa’id Asasiyah fi al-Bahts al-‘Ilmi. Beirut: Muassasah Al-Risalah.

Shodr, Muhammad Al-Baqir Al-.1982. Al-Usus al-Mantiqiyah li al-Istiqro’.Beirut:Dar al- Ta’aruf li al-Mathbu’at.

______ . 1410 H/1989M. Al-Ma’lim al-Jadidah li al-Ushul. Siria: Dar al-Ta’aruf.

Sing Mehra, Partap, dan Jazir Burhan.1988. Pengantar Logika Tradisional. Bandung: Binacipta.

Soliba, Jamil.1982. al-Mu’jam al-Falsafi. Beirut: Dar al-Kitab al-Lubnani.

Sulaiman, Abdu Al-Wahab Ibrahim Abu.1416H/1996. Minhaj al-Bahts fi al-Fiqh al-Islami. Mekkah Saudi Arabia: Al-Maktabah Al-Makkiyah.

Sunggono, Bambang.1997. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Tnp.

Syatibi, Abu Ishak al-. 1415 H/1994. al-Muwafaqat. Beirut: Dar al-Ma’rifah.

Tahanawi, Muhammad Ali al-. Tanpa Tahun. Mausu’ah Kasyyaf Ishtilahat al-Funun wa al-Ulum. Beirut: Maktabah Lubnan Nasyirun.

Tambakati, Ahmad As-Sudani al-. Tanpa Tahun.. Nailu al-Ibtihaj bi Tathwir ad-Dibaj. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah.

Thowil, Taufiq al-. 1979. Ususu al-Falsafah. Kairo: Daru al-Nahdhah Al-‘Arabiah.

Turki, Abdu Al-Majid. 1980.”Syatibi wa al-Ijtihad al-Tasyri’ al-Mu’ashir”, Majalah al-Ijtihad, no.2, tahun 1980, Beirut, Libanon.

____.1404 H/1986M.Munazharat fi Ushuli al-Syari’ah al-Islamiyah baina Ibn Hazm wa Al-Baji, terjemah wa tahqiq wa ta’liq Abdu Al-Shobur Syahin, muroja’ah Muhammad Abdu Al-Halim Mahmud. Beirut: Dar Al-Garb Al-Islami.

Artikel ini pernah dimuat dalam UNISIA Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial UII
edisi Reformasi Hukum Islam di Indonesia

Penalaran Induktif Syatibi dan Perumusan al-Maqosid Menuju Ijtihad yang Dinamis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to top