Pergeseran Perilaku Politik Kultural Nahdlatul Ulama (NU) di Era Multi Partai Pasca Orde Baru

(Studi Kasus NU Jember, Jawa Timur)
Drs. Abdul Haris, M. Ag., dkk
STAIN Jember Jawa Timur

Ringkasan Laporan Hasil Penelitian “Pergeseran Perilaku Politik Kultural Nahdlatul Ulama (NU) di Era Multi Partai Pasca Orde Baru (Studi Kasus NU Jember, Jawa Timur)” oleh Drs. Abdul Haris, M. Ag. (Ketua Tim Peneliti), M. Khusna Amal, S.Ag., M. Si., Nur Solikin, S. Ag. Semuanya adalah Staf Pengajar STAIN Jember. Ditulis kembali oleh M. Khoirul Muqtafa. Penelitian ini dibiayai oleh Departemen Agama dalam rangka Penelitian Kompetitif yang diselenggarakan oleh Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam, Depag RI Tahun 2002.

Pasca Orde Baru, terdapat fenomena unik pada diri NU dalam hal berpolitik. Perubahan peta sosial-politik pada masa ini direspon NU dengan cara, salah satunya, menggagas sebuah partai politik yang kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan panitia kecil dalam rangka merumuskan pembentukan partai politik tersebut. Lahirlah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Karena alasan integralitas wadah penyaluran aspirasi warga NU, PKB lantas diklaim sebagai satu-satunya sayap politik resmi milik warga NU. Sebelumnya, nama yang diusulkan PBNU adalah Partai Kebangkitan Umat (PKU) (Faisal Ismail, 1999: 35; Kuntowijoyo, 1999: 27).

Kalau dicermati dengan seksama, tindakan para tokoh NU ini cukup mengindikasikan adanya kecenderungan pergeseran sikap, orientasi dan bahkan perilaku politik (political action) pada diri NU. Kalau selama ini pola perilaku politik NU bercorak kultural (cultural oriented) dengan fokus gerakan pada pembelaan dan pemberdayaan masyarakat, kini perilaku politik NU kian menampakkan wajahnya yang struktural (structural oriented). Ali Maschan Moesa (Jawa Pos, 12 Oktober 2002) menyatakan bahwa pergeseran perilaku politik ini bisa dilihat dari peran politik NU yang independen dan oposan menjadi partisan, dan dari partai politik kerakyatan menjadi politik kekuasaan. Meski pergeseran perilaku politik ini lebih bersifat personal atau komunal dalam NU sendiri bukan secara institusional yang melibatkan organisasi, dalam prakteknya susah dipisahkan antara keduanya. Karena tindakan personal atau kelompok yang dilakukan oleh tokoh-tokoh NU selalu mengusung simbol-simbol keorganisasian NU, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Pergeseran perilaku politik ini juga bisa dilihat dari keterlibatan tokoh-tokoh NU yang secara intens memobilisir massa nahdliyyin guna menopang perolehan suara PKB pada pemilu1999 sebagaimana amanat hasil rapat pleno PBNU ke-4 tanggal 24 Juli 1998 di Jakarta. Hasil rapat ini berisi seruan agar seluruh warga NU memberikan dukungan dan memelihara PKB sebagai satu-satunya partai milik warga NU (Badrun Alaena, 2000: 103-104). Aksi tokoh-tokoh NU dengan segenap warga Nahdliyyin dalam melakukan keberpihakan terhadap Abdurrahman Wahid yang menduduki kursi kepresidenan ketika terjadi konfrontasi dengan MPR/DPR juga mengindikasikan pergeseran ini. Hal ini ditambah dengan pernyataan sikap para ulama NU yang mendukung Abdurrahman Wahid untuk mengeluarkan Dekrit Presiden pada 23 Juli 2001 sebagai political counter terhadap maklumat MPR/DPR yang hendak mencabut mandat kepresidenan Abdurrahman Wahid melalui Sidang Istimewa (SI) MPR. Semua tindakan yang dilakukan NU tersebut, jelas tidak muncul begitu saja tanpa memiliki pretensi politik.

Sekilas perilaku politik NU ini dapat dikatakan kontra-produktif dengan pola perilaku politik NU pasca Khittah di mana NU memutuskan untuk menarik diri dari percaturan politik praktis untuk kembali kepada garis perjuangan semula yakni sebagai organisasi sosial-keagamaan. Juga aktivitas perpolitikan NU yang banyak diorientasikan kepada pemberdayaan masyarakat sipil (civil society) dalam kerangka kontrol terhadap kekuasaan (moral force). Namun demikian, tindakan NU untuk turut membidani kelahiran PKB dan keterlibatan politik di dalam partai itu tidak serta merta dapat dijadikan dalih untuk menjustifikasi bahwa NU telah berpolitik praktis dan mengingkari Khittah tersebut. Sebab, NU sendiri telah membuat garis pembatas yang sangat tegas dimana hubungan antara NU dan PKB hanyalah bersifat moral, kultural, historis, aspiratif, bukannya bersifat struktural (Hasyim Muzadi, 1999: 108).

Pun ada garis demarkasi yang tegas antara NU dan PKB, relasi antar keduanya sesungguhnya seringkali tampak kabur ketika dihadapkan pada realitas perpolitikan yang ditunjukkan oleh organisasi NU dan waganya secara umum. Keterlibatan aktif para tokoh dan kader NU dalam mendirikan dan mengurusi PKB, pada taraf tertentu, dapat diartikan bahwa NU mulai memasuki kembali political sphere dan tampak kian berorientasi kepada suatu upaya untuk kembali—meminjam istilah Syamsuddin Haris (1990: 41)—“berjaya secara politik” sebagaimana pengalaman politik NU pada era 1950-1970-an di mana NU benar-benar menjadi aktor politik (political actor) yang secara langsung berkiprah dalam sruktur perpolitikan negara.

Hal senada juga ditangkap oleh Martin van Bruinessen (Jurnal Gerbang, 12-V, 2002: 10) ketika ia menghadiri Muktamar NU ke 30 di Kediri pada November 1999. Menurutnya, para pemimpin NU lokal yang berkumpul di sana sangat bersuka cita dengan kembalinya pemimpin mereka kepada “politik praktis” setelah mereka menunggu selama kurang lebih 15 tahun dengan penuh keresahan. Para pemimpin NU lokal ini terkesan sangat berambisi untuk kembali kepada politik patronase 1950 dan 1960-an. Bahkan, banyak delegasi yang mengharapkan terciptanya hubungan yang formal antara NU dan PKB, atau alternatifnya mengubah NU menjadi partai politik lagi.

Munculnya kecenderungan pergeseran perilaku politik kultural ke arah politik praktis ternyata tidak hanya tampak pada organisasi NU di tingkat Pusat melainkan juga di tingkat lokal yang berbasis di daerah-daerah, termasuk kasus aktivitas politik NU Jember Jawa Timur. Berdasarkan data pengamatan awal yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa, sementara ini, aktivitas-aktivitas yang dilakukan NU Jember lebih banyak bergesekan dengan wilayah politik praktis seperti kepentingan untuk menguasai pos-pos kekuasaan strategis dalam pemerintahan daerah, dukungan praktis kepada PKB Cabang Jember dalam kasus pemilihan Bupati Jember, keterlibatan NU Jember dalam mengurusi persoalan Pemerintahan Kota (Pemkot) dan berbagai aktivitas perpolitikan praktis lainnya. Bahkan, di lingkungan NU Jember tampak adanya kevakuman aktivitas-aktivitas yang bercorak sosial-keagaamaan.

Penelitian ini mengambil lokasi di daerah Jember karena merupakan satu daerah kantong NU yang memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan daerah-daerah kantong NU yang lain. Sebagai bagian daerah yang masuk dalam lingkup wilayah “tapal kuda”—meliputi: Jember, Banyuwangi, Situbondo, Bondowoso, Lumajang, dan Probolinggo—, warga NU Jember dikenal memiliki karakter sosio-kultural yang cukup militan. Namun dalam konstalasi perpolitikan daerah, warga NU Jember kurang mendapatkan tempat secara proporsional dalam struktur pemerintahan daerah. Alasan lain adalah banyaknya kajian tentang NU dan politik pada umumnya yang dilakukan pada lingkup makro, dan masih sedikit yang mengangkat perkembangan gerakan NU pada tingkat mikro.

Penelitian ini bertujuan untuk menemukan penjelasan mengenai situasi dan kondisi sosio-politik yang menjadi konteks atau melatarbelakangi pergeseran perilaku politik kultural NU Jember di era multi partai pasca Orde Baru. Juga untuk menemukan penjelasan tentang faktor-faktor yang turut mendorong proses pergeseran perilaku politik ini. Dengan menggunakan strategi studi kasus (case study) bercorak deskriptif-eksploratif, peneliti mencoba menggali secara mendalam berbagai kasus perpolitikan kontemporer yang menyeret NU Jember untuk aktif terlibat di dalamnya. Dilihat dari dimensi waktunya, kasus-kasus perpolitikan NU Jember yang dikaji berada pada pusaran periode pasca Orde Baru yakni mulai dari awal terjadinya proses reformasi sampai sekarang.

Memotret NU Jember

Jauh sebelum organisasi (jam’iyyah) NU Cabang Jember berdiri, di daerah Jember telah berkembang komunitas (jamâ’ah) muslim yang mengikuti paham keagamaan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah (Sunni). K.H. Mohammad Shiddiq di sebut-sebut sebagai sosok utama perintis dan pengembang Islam Sunni pertama yang kelak menjadi embrio kelahiran NU Jember yang pada hakekatnya merupakan wahana pelembagaan formil dari tradisi Sunni itu sendiri.

Meski demikian, timbul satu kesulitan untuk dapat mengungkap secara pasti bagaimana perintisan dan kapan persisnya NU Jember itu secara organisatoris berdiri. Sebab, tidak ditemukan catatan tertulis otentik yang merekam hal tersebut secara sistemik. Para ulama yang menjadi pelaku sejarah (founding fathers) dalam perintisan NU Jember pun sudah tidak bisa diketemukan lagi. Jangankan generasi pertama (generasi K.H. Muhammad Shiddiq), generasi kedua atau yang bisa disebut “generasi sahabat” yakni mereka yang menyertai dan mengikuti life history generasi pertama tidak dijumpai lagi. Yang ada adalah generasi ketiga (tabi’în: mereka yang mengikuti perjalanan generasi kedua), generasi keempat dan seterusnya (tabi’în tabi’în) yang sudah banyak mengalami keterputusan mata rantai historisitas NU Jember sejak pertama.

Karena itu, terdapat pendapat yang beragam ikhwal pendirian NU Jember ini. Ada yang berpendapat bahwa secara formal organisatoris, NU Jember berdiri pada tahun 1928, tepat dua tahun setelah pendirian NU tingkat nasional di Surabaya tahun 1926. Pendirian NU tingkat nasional ini memang banyak melibatkan kyai-kyai dari Jawa Timur. Dimungkinkan, kyai-kyai dari Jember saat itu ada yang terlibat dalam proses pendirian NU. Karena, Jember sudah memiliki kyai-kyai yang punya reputasi diperhitungkan di Jawa seperti K.H Mohammad Shiddiq yang dianggap sebagai penyebar dan pengembang Islam pertama di Jember.

Pendapat yang lain adalah NU Jember secara formal organisatoris baru berdiri pada periode 1930-an, tepatnya 1932. Pada tahun 1934, NU Pusat menyelenggarakan Muktamar ke sembilan tempat di Banyuwangi, Jawa Timur, yang menetapkan K.H Mahfudz Shiddiq dari Jember sebagai salah satu ketua PBNU. Diadakannya Muktamar dalam skala nasional sudah barang tentu melibatkan cabang-cabang NU yang ada di berbagai wilayah. Dan tidak mungkin, ketika kongres tesebut berlangsung NU Jember belum terbentuk. Apalagi salah satu ketua PBNU terpilih berasal dari Jember yang dikenal aktif dan pernah pula menjabat ketua NU Jember.

Sepeninggal K.H Mohammad Shiddiq, 2 Ramadlan 1353 H/ 9 Desember 1934 M, pengembangan NU Jember dipegang oleh putra beliau K.H Mahfudz Shiddiq dan para ulama seangkatan hasil bimbingan K.H Mohammad Shiddiq. Praktis, pada masa ini sampai akhir 1940-an menjadi era perjuangannya K.H Mahfudz Shiddiq dan kawan-kawan dalam mengembangkan NU Jember. Pada tahun 1934 K.H. Mahfudz Shiddiq didaulat menjadi salah satu ketua Tanfidziyah PBNU. Meski demikian, beliau tetap mempunyai perhatian tersendiri terhadap perkembangan NU Jember. Pada periode ini, aktivis keorganisasian NU banyak dicurahkan kepada perjuangan membela tanah air dari penindasan kaum kolonialis dan persiapan meraih kemerdekaan.

Era 1950-an sampai dengan 1980-an, perkembangan NU Jember banyak diwarnai oleh kiprah K.H Ahmad Shiddiq, adik K.H Mahfudz shiddiq. Seperti kakaknya, K.H Ahmad Shiddiq menjelma menjadi aktivis NU progresif dan terkenal cemerlang serta banyak berjasa bagi perkembangan NU Jember, terutama NU skala nasional. Sejak 1949-1952, K.H Ahmad Shiddiq sudah aktif mendampingi kiprah Menteri Agama K.H Wahid Hasyim dari NU sebagai Sekretaris Menteri. Pada tahun 1955-1957 dan 1971 K.H Ahmad Shiddiq pernah menjadi anggota DPR (Munawar Fuad Noeh dan Mastuki HS., 1999: 41). Pun demikian, NU Jember tidak dilupakan begitu saja oleh beliau. Karena beliau tahu betul bahwa karirnya dimulai dari Jember.

Pada era 1952-an sampai 1980-an, kondisi NU secara keseluruhan, baik di pusat, wilayah, dan daerah, termasuk NU Jember, berubah menjadi partai politik yang berorientasi kepada kepentingan-kepentingan politik praktis. Periode 1980-an, kiprah K.H Ahmad Shiddiq masih sangat signifikan. Pada tahun 1984, ia terpilih menjadi Rais Syuriah NU berdampingan dengan Gus Dur sebagai ketua Tanfidziyah. Di bawah kepemimpinan kedua tokoh ini, NU yang banyak memfokuskan kegiatannya pada persoalan politik, dapat dikembalikan ke jati dirinya semula yakni sebagai organisasi sosial keagamaan dengan menempatkan peran sentral para kyai. Perubahan status NU dari partai politik menjadi organisasi sosial keagamaan yang ditetapkan melalui Muktamar NU 1984 di Situbondo, secara otomatis berdampak kepada organisasi-organisasi NU yang ada di tingkat daerah. Tokoh-tokoh NU Jember saat itu seperti K.H Muhid Muzadi, H. Muhson Sudjono yang sempat menjadi anggota DPRD Jember beberapa kali pada pemilu 1955 dan 1971, kembali menggeluti aktivitas di bidang sosial, keagamaan, dan pendidikan. Pada masa ini penguatan NU secara kultural gencar dilakukan.

Adapun penguatan secara struktural keorganisasian NU Jember mulai tampak pada periode 1980-1990-an. Dari dokumen Konferensi Cabang NU Jember, diketahui beberapa program kerja NU Jember yang tidak lagi berorientasi semata-mata kepada pembinaan jamâ’ah NU Jember melalui kegiatan dakwah, pendidikan pesantren, perekonomian, dan sosial kemasyarakatan. Kegiatan NU Jember diorientasikan pula kepada aspek pembinaan dan pembenahan struktural institusi NU itu sendiri yang terkesan kalah wibawa bila dibandingkan dengan peran personalitas kyai dan pesantren. Beberapa program kerja seperti Pelatihan (workshop), Managemen Organisasi, Managemen Sumber daya Manusia Pengurus, Pengelolaan Tertib Administrasi, Kepemimpinan organisasi Pengurus NU, mulai diprioritaskan secara serius.

Dengan demikian, wajah kekinian NU Jember tidak lagi dimonopoli dan dihiasi tokoh-tokoh tua dari kalangan pesantren salaf sebagaimana sebelumnya di mana peran mereka begitu mendominasi. Program-program kegiatan NU Jember, baik yang terkait dengan aspek struktural keorganisasian NU Jember maupun kultural warga masyarakatnya, mulai tersusun secara sistematis dengan memiliki sasaran dan target yang jelas. Ditilik dari kebijakan penyusunan dan pelaksanaan program kerja lebih lanjut, NU Jember kian terlihat profesional dalam menanganinya. Agenda kegiatan NU Jember selalu diselaraskan dengan kondisi perkembangan sosial dan politik masyarakat yang terus berubah. Pola kerjasama antara instansi atau organisasi baik pemerintah maupun non-pemerintah dan pelaksanaan program kerja yang profesional mulai ditempuh. Beberapa agenda kegiatan NU Jember yang terencana pada dekade terakhir dapat ditemukan dalam laporan pertanggungjawaban kepengurusan 1993-1997 dan musyawarah kerja NU Jember periode 1999-2004 yang antara lain menitikberatkan kebijakan program kegiatan NU pada: 1) peningkatan amal dan prestasi NU baik kuantitatif maupun kualitatif sebagai upaya mencapai kemaslahatan umat; 2) meningkatkan sumberdaya manusia NU dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; 3) meningkatkan kelembagaan NU secara organisatoris di samping kekuatan NU secara kultural; 4) mempererat jaringan komunikasi baik individu maupun kelompok untuk memecahkan masalah-masalah bersama yang dilandasi Ukhuwah Nahdliyyah, Ukhuwah Islâmiyyah, dan, Ukhuwah Basyariyyah; dan 5) meningkatkan kesadaran dalam mengamalkan Khittah NU 1926. Kelima kebijaksanaan program kerja NU tersebut dituangkan ke dalam lima departeman program kerja yang meliputi: a) pengembangan sumberdaya manusia NU; b) program perekonomian dan kesejahteraan; c) sosial; d) dakwah; dan e) keorganisasian (Laporan Hasil Konfercab NU Jember, 1999).

Pergeseran Perilaku Politik Kultural NU Jember

Proses pembentukan PKB sebagai jalur partisipasi politik merupakan sebuah langkah fenomenal yang ditempuh oleh warga nahdliyyin pasca tumbangnya rezim otoritarianisme Orde Baru. Langkah ini tentunya tak bisa dilepaskan dari peran partisipatif warga NU di tingkat daerah, sebagaimana Jember. Menurut keterangan beberapa informan yang berhasil dihimpun oleh peneliti, keterlibatan NU Jember dalam kasus pembentukan PKB sudah berlangsung lama yakni ketika muncul wacana pembentukan partai politik di lingkungan internal NU pasca reformasi. Pada saat itu, beberapa tokoh dan kader muda NU Jember aktif melakukan berbagai kegiatan diskusi tentang kemungkinan NU membentuk partai sendiri. Serangkaian kegiatan diskusi yang disponsori kader-kader muda NU Jember melibatkan serta tokoh-tokoh dan segenap warga NU Jember dari berbagai elemen. Wacana yang kemudian menguat dan mewarnai setiap diskusi tersebut adalah keinginan warga NU Jember untuk memiliki partai politik sendiri pasca Orde Baru.

Keinginan ini kian memiliki momentum relevansifnya ketika PBNU mulai responsif untuk menanggapi tuntutan warga NU dari berbagai daerah. Mulai saat itu, kegiatan diskusi terus dilakukan secara intensif guna mematangkan rumusan konseptual tentang pembentukan partai politik yang akan diusulkan kepada PBNU. Bahkan, beberapa tokoh NU Jember seperti K.H Yusuf Muhammad (Gus Yus) dan K.H Muhid Muzadi, turut ambil bagian secara langsung dalam setiap proses pembentukan partai politik yang difasilitasi PBNU. Puncaknya, NU Jember yang saat itu berada di bawah kepemimpinan H. Mukhson Sudjono memfasilitasi dan sekaligus mem-back up pendeklarasian PKB cabang Jember yang dilakukan di Pondok Pesantren Sumberwringin pimpinan K.H Khatib Umar.

Faktor yang turut mendorong keinginan warga Jember untuk membentuk partai politik banyak dipengaruhi oleh perubahan peta sosial-politik yang terjadi pasca lengsernya Soeharto yang kemudian digantikan oleh Habibie. Pergantian ini dianggap tidak lazim dan tidak melalui proses-proses yang demokratis. Karena, proses peralihan dilakukan dengan cara pengangkatan secara langsung oleh mantan Presiden Soeharto kepada penggantinya secara langsung di hadapan Mahkamah Agung (MA). Menurut Ignas Kleden (2000:5), Habibie hanya memiliki persyaratan secara legal tetapi tidak memiliki persyaratan secara legitimasi. Meski demikian, kepemimpinan Habibie akhirnya diterima dengan berbagai catatan.

Pada masa ini, Habibie melakukan beberapa perubahan yang signifikan berkaitan dengan wacana kepartaian di tanah air. Habibie merevisi undang-undang pemilihan umum yang selama Orde Baru hanya memberikan kewenangan terhadap tiga partai politik sebagai kontestannya yakni Golkar, PPP, dan PDI. Dalam perubahan kebijakan politiknya, Habibie memberikan ruang kebebasan kepada kelompok masyarakat untuk membentuk partai politik baru. Kebijakan ini disambut dengan antusiasme yang tinggi oleh masyarakat untuk membentuk partai termasuk warga NU Jember.

Apabila ditelisik lebih jauh, perubahan sosial-politik pasca Orde Baru bukan merupakan satu-satunya faktor determinan yang memprovokasi NU Jember untuk berpartisipasi mendirikan partai politik. Faktor yang lain banyak dilatarbelakangi oleh: orientasi historis-politis, orientasi potensi dan kompetensi diri, orientasi moralitas dan idealitas, serta orientasi praktis dan pragmatis.

Orientasi historis-politis yaitu kecenderungan sikap dan pandangan yang mewarnai NU Jember terhadap pengalaman sejarah perpolitikannya di masa lampau. Keterlibatan NU Jember dalam proses-proses perpolitikan daerah atau bangsa telah berlangsung cukup lama. Namun, dalam rentang panjang sejarah perjalanan perpolitikannya, NU Jember kerap diperlakukan secara kurang adil seperti gerakan politik yang dilakukan kelompok modernis dan reformis dalam melakukan penggusuran terhadap kader-kader politik NU Jember dari pos-pos penting yang berada di Masyumi dan birokrasi pemerintah daerah.

Kemudian, untuk beberapa saat NU Jember dapat memainkan aktivitas perpolitikannya pada saat dirinya mengikuti jejak PBNU keluar dari Masyumi dan mendirikan partai politik sendiri yakni Partai Politik NU (PNU) cabang Jember pada 1952-1973. Namun setelah itu, NU Jember kembali dimarginalisasikan dari area perpolitikan. Tepatnya, pada era Orde Baru dengan kebijakan depolitisasinya yang mengakibatkan NU Jember banyak kehilangan aset politik yang selama kurun waktu 1952-1973-an berhasil digenggamnya. Praktis, sepanjang rezim pemerintahan Orde Baru, NU Jember kurang mendapatkan peran politik yang proporsional. Padahal, mayoritas penduduk Jember secara ideologis adalah warga NU.

Sedangkan orientasi potensi dan kompetensi diri yakni sikap dan pandangan yang mengarah kepada aspek modal sumber daya manusia dan kemampuan diri warga NU. Persoalan ini kerap dijadikan argumentasi politik bagi NU Jember untuk berpartisipasi membidani kelahiran partai politik pasca Orde Baru. Berkaitan dengan hal ini, K.H Muhyiddin Abdusshomad secara realistis juga melihat persoalan tersebut sebagai realitas empirik yang turut menjadi pertimbangan NU Jember berkepentingan mendirikan partai politik. Menurutnya, jumlah warga NU Jember diperkirakan mencapai kurang lebih 80 %dari keseluruhan umat Islam di Jember. Potensi massa NU Jember yang begitu besar selama ini hanya dijadikan bahan rebutan partai-partai politik lain seperti Golkar, PPP, dan PDI. Akibatnya, potensi besar massa NU Jember menajdi terserak di mana-mana yang pada akhirnya hanya menjadikan NU Jember beserta massa yang dimiliki sebatas sebagai penyumbang suara bagi partai-partai politik milik orang/kelompok lain (Wawancara, 10/9/2002).

Orientasi moralitas dan idealitas yakni suatu sikap dan pandangan yang menekankan kepada peran penting perjuangan politik untuk merealisasikan cita-cita luhur yang dimiliki organisasi. Semangat idealitas dan moralitas dalam proses pembentukan partai politik dapat ditangkap cukup jelas dari sebagian warga NU Jember yang menghendaki agar NU, melalui partai politik yang digagasnya dapat berperan serta merestrukturisasi tatanan kehidupan politik bangsa yang lebih demokratis. Di samping itu, partai politik yang hendak didirikan NU itu harus memiliki muatan moral keagamaan berdasarkan ajaran Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah. Pengusungan etos idealitas dan moralitas dalam proses pembentukan partai politik di lingkungan NU Jember menandai terlalu umumnya pemaknaan warga NU Jember terhadap politik. Kegiatan politik cenderung disamakan dengan dakwah dan sosial sebagai amr al-ma’rûf nahi munkar dan akhlaq al-karîmah (Kuntowijoyo, 1997: 206). Berkaitan dengan semangat idealitas dan moralitas ini, warga NU Jember memandang pelaksanaan kekuasaan atau pemerintahan yang ada selama ini dinilai cenderung korup dan disalahgunakan secara semena-mena.

Adapun orientasi praktis dan pragmatis yaitu suatu sikap dan pandangan yang memiliki kecenderungan kepada kepentingan-kepentingan politik sesaat seperti mendapatkan kedudukan dan/atau jatah kekuasaan di pemerintahan. Orientasi ini merupakan realitas yang tidak bisa disembunyikan dari kepentingan warga NU Jember untuk turut mendorong PBNU mendirikan partai politik pasca Orde Baru. Secara terbuka, adanya orientasi kepentingan politik yang lebih praktis dan pragmatis diakui oleh tokoh-tokoh NU Jember. Bagi mereka, cukuplah logis ketika NU melalui sayap politik yang didirikannya berkepentingan menggapai target-target kekuasaan. Pasalnya, ketika NU Jember sudah terjun ke dunia politik praktis, maka tidak bisa dielakkan adanya gerakan untuk berkompetisi memperebutkan dan/atau turut mengatur distribusi kekuasaan (power sharing) sebagaimana lazimnya politik itu sendiri (Wawancara dengan K.H. Muhyiddin Abdusshomad, 10/9/2002; Mudatsir, 11/9/2002).

Setelah keinginan membentuk partai terealisir, reposisi NU Jember sebagai fasilitator dalam proses pembentukan PKB yang menjadi sayap politiknya dihadapkan pada kenyataan empirik yang paradoksal. Pasca terbentuknya PKB, muncul dilema-dilema yang dihadapi NU Jember. Satu sisi, NU Jember ingin melepaskan diri dari PKB dan mencukupkan diri sebagai fasilitator terhadap pembentukan PKB sebagaimana komitmen awal yang telah dicanangkannya. Pada sisi lain, NU Jember merasa dituntut tanggung jawab moralnya untuk ikut serta mempertahankan, mengembangkan dan membesarkan PKB. Sebab, tanpa adanya dukungan NU Jember, dapat dipastikan, PKB Jember tidak akan bisa menjadi partai besar. Pasalnya, modal sumberdaya manusia terbesar PKB terletak pada warga nahdliyyin yang dimiliki NU.

Dihadapkan pada situasi ini, NU Jember pun merasa terpanggil untuk terlibat penuh dalam mendampingi setiap proses perpolitikan yang dilakukan oleh PKB. Tidak jarang pula kemudian para tokoh NU yang merangkap jabatan dengan berkiprah menjadi pengurus di PKB. Alasan rangkap jabatan ini didasarkan pada satu argumentasi bahwa PKB di awal pendiriannya membutuhkan figur-figur NU yang sudah popular dan memiliki massa yang riil. Semua ini terkait dengan kepentingan PKB Jember untuk dapat memperoleh dukungan suara dari mayoritas warga nahdliyyin untuk kepentingan pemenangan pemilu 1999.

Kiprah NU Jember terus berlangsung sehingga kerap menyeretnya ke area perpolitikan praktis. Tercatat, kerapkali tokoh-tokoh NU Jember melakukan praktek mobilisasi massa lewat kampanye dengan memanfaatkan sentimen ideologis dan simbol-simbol keagamaan serta pernyataan politik partisan seperti ungkapan bahwa PKB itu satu-satunya partai yang didukung penuh oleh para ulama NU, maka dari itu memilih PKB bagi warga NU itu adalah fardlu ‘ain. Upaya ini memang menuai hasil. Melalui proses politik yang tak direncanakan Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden dari PKB berhasil menduduki kursi kepresidenan. Hal ini menimbulkan euphoria politik bagi warga nahdliyyin. Tak berselang lama, pemerintahan Gusdur ini banyak menuai protes. Bahkan, Gus Dur hendak dilengserkan melalui skenario politik Sidang Istimewa. Hal ini membuat warga NU Jember harus bersikap tegas. Malah NU Jember juga terlibat dalam pembentukan Pasukan Berani Mati (PBM).

Khusus mengenai masalah ini, peneliti memperoleh informasi bahwa munculnya ide pembentukan PBM memang lahir dari kalangan NU Jember. K.H Muhyiddin Abdusshomad dan Mudatsir, mengatakan bahwa alasan pembentukan PBM itu, tiada lain, dimaksudkan untuk mewadahi kemarahan sebagian besar warga NU Jember yang melihat pimpinannya di-dhalimi. Sebab, kalau tidak diwadahi, dikhawatirkan akan dapat menimbulkan tindakan-tindakan destruktif secara lebih luas. Oleh karena itu, beberapa tokoh NU Jember menyediakan wadah yang dapat digunakan warga NU Jember untuk menyalurkan segenap ekspresi kemarahannya atas upaya-upaya pelengseran Wahid dari kepresidenan. Bahkan, NU sendiri memberikan fasilitas kepada mereka yang tergabung dalam PBM untuk pergi ke Jakarta bergabung dengan segenap elemen warga NU yang tengah berjuang melakukan pembelaan terhadap Wahid. Jadi, penyediaan wadah berupa PBM itu sekali-kali tidak dimaksudkan untuk melakukan perlawanan terhadap kekuatan yang hendak melengserkan Wahid. Meski demikian, pembentukan PBM semakin mempertegas wajah radikal politik NU Jember pasca Orde Baru. Di samping hal tersebut di atas, NU Jember juga terlibat dalam pemilihan Bupati Jember periode 2000-2005. Juga terlibat dalam persoalan pembentukan Pemerintahan Kota (Pemkot).

****

Tindakan NU Jember dalam melakukan persinggungan dengan persoalan politik praktis, mulai dari keterlibatannya dalam proses pembentukan PKB; mobilisir massa pada pemilu 1999 dan pembentukan PBM dalam rangka back up Abdurrahman Wahid; pemilihan Bupati Jember periode 2000-2005; dan pembentukan pemerintahan kota, merupakan fakta empirik yang menunjukkan terjadinya pergeseran perilaku politik kultural pada diri NU Jember pasca Orde Baru. Kalau sebelumnya aktivitas perpolitikan NU Jember lebih berorientasi kepada—meminjam istilah A. Gaffan Karim—aspek kualitatif, kini (pasca pembentukan PKB) aktivitas perpolitikannya mulai mengalami pergeseran orientasi kepada aspek kuantitatif dengan target turut terlibat dalam power sharing. Pada saat bersamaan, tuntutan adanya representative government (Arief Afandi, 1997: 4) pun, tampaknya menjadi agenda perjuangan politik NU Jember yang semakin diprioritaskan dalam setiap gerakan politiknya.

Padahal, pasca Khittah 1926, aktivitas perpolitikan NU Jember banyak berorientasi kepada gerakan politik kultural di mana NU Jember lebih memilih untuk mengaktualisasikan peran politiknya dari luar struktur kekuasaan, dalam kapasitasnya—meminjam istilah K.H Ahmad Shiddiq—sebagai “moral force” yang tidak terlalu memperhitungkan persoalan representative government. Aktivitas politik NU lebih diorientasikan kepada peningkatan dan pendewasaan partisipasi politik sebagai tanggung jawab NU dalam rangka mempercepat proses demokratisasi (Ali Maschan Moesa, 2002: 21).

Reorientasi politik pada diri NU Jember dari kultural ke struktural, dan tragedi kegagalan politik yang kerap diterimanya, menjadikan NU Jember menampilkan sikap dan bahkan perilaku politik yang terkesan progresif-radikalistik. Hanya saja, progresivitas-radikalisme perilaku politik NU Jember mencuat ketika ia hendak memperebutkan dan mempertahankan kapling politik praktisnya. Model perilaku politik semacam ini, akan cukup berimplikasi terhadap pereduksian bangunan gerakan atau perilaku politik kulturalnya. Dapat dikatakan, pergeseran perilaku politik NU Jember yang kian menampakkan orientasi strukturalnya itu, diakui atau tidak, disukai atau tidak, pada tataran tertentu, dapat dikatakan telah merontokkan dan memarginalisasikan sendi-sendi Khittah ( Bakhtiar Effendy, 2000: 179; Azyumardi Azra, 2002; 44-46).

Pun demikian, tindakan NU Jember untuk turut berpartisipasi membentuk partai politik sendiri membawa implikasi positif. Sebab, bagaimanapun NU Jember cukup berjasa dalam memecahkan problema kepolitikan NU pasca Orde Baru pada saat elemen-elemen sosial yang lain ramai-ramai mendirikan partai politik. Kebingungan warga NU Jember dalam menyalurkan aspirasi politiknya dapat terpecahkan berkat responsibilitas NU Jember untuk turut menyediakan saluran politik bagi warganya. Sementara itu, keterlibatan NU Jember bersama PKB dalam perpolitikan praktis di tingkat daerah yang kerap membawanya memasuki konflik politik telah menciptakan dinamika perpolitikan tersendiri. Paling tidak, NU Jember semakin terdewasakan dengan pengalaman-pengalaman perpolitikan yang didapatkannnya. Sebab, kebanyakan warga NU Jember yang aktif terlibat dalam bidang politik tidak pernah mendapatkan pendidikan politik secara memadahi. Keterlibatannya secara praksis dalam mengikuti setiap agenda perpolitikan praktis yang tengah berlangsung dapat menjadi laboratorium pendidikan politik yang sesungguhnya.

Daftar Pustaka

Afandi, Arief (ed.), Islam Demokrasi Atas Bawah: Polemik Strategi Perjuangan Umat Model Gus Dur dan Amien Rais, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997.

Alaena, Badrun, NU, Kritisisme dan Pergeseran Makna Aswaja, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2000.

Ali, Fachry dan Iqbal Abdul Rauf Saimima, Merosotnya Aliran Dalam Partai Persatuan Pembangunan, dalam LP3ES, Analisa Kekuatan Politik Di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1991.

Anam, Choirul, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, Bisma Satu, Surabaya, 1999.

Andrain, Charles F., Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1992.

Asy’ari, Su’aidi, The Role of Muslim Groups in Contemporery Indonesian Nationalism: A Study of the Nahdlatul Ulama Under the New Order 1980s-1990s. Thesis, Institute of Islamic Studies MCGill University, Montreal Canada, 1999.

Azra, Azyumardi, Kasus PKB-NU Kegagalan Politik Islam. Majalah Nahdlatul Ulama AULA No. 07 Tahun XXIV, PWNU Jawa Timur, Surabaya, 2002.

Bruinessen, Martin Van, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, LKiS, Yogyakarta, 1994.

_________, Konjungtur Sosial Politik di Jagat NU Paska Khittah 1926: Pergulatan NU dekade 1990-an, dalam Ellyasa K.H. Darwia (ed). Gus Dur dan Masyarakt Sipil, LKiS, Yogyakarta, 1994.

_________, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, Mizan, Bandung, 1999.

_________, Kembali Ke Situbondo? Sikap NU Terhadap Kepresidenan Gus Dur dalam Jurnal Gerbang 12-V, eLSAD, Surabaya, 2002.

Creswell, John W., Research Design Qualitative and Quntitative Approaches, Sage Publications, California, 1994.

Dhakidae, Daniel, Langkah Non Politik dan Politik NU, dalam Ellyasa KH. Dharwis (ed), Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil, LKiS, Yogyakarta, 1994.

Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3ES, Jakarta, 1982.

Duverger, Maurice, Sosiologi Politik, terj. Daniel Dhakidae, cetakan Keempat, Rajawali Pers, Jakarta, 1989.

Effendy, Bahtiar, Repolitasi Islam, Pernakah Islam Berhenti Berpolitik?, Mizan, Bandung, 2000.

Fealy, Greg, Wahab Chasbullah Tradisionalisme dan Perkembangan Politik NU, dalam Greg Fealy & Greg Barton (ed). Tradisionalisme Radikal Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara, LKiS, Yogyakarta, 1997.

Feillard, Andree, Nahdlatul Ulama dan Negara: Fleksibilitas, Legitimasi dan Pembaharuan, dalam Ellyasa KH. Darwis (ed.), Gus Dur dan Masyarakat Sipil, LKiS, Yogyakarta, 1994.

________, NU Visa a Vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, LKiS, Yogyakarta, 1999.

Gaffar, Afan, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000.

Haidar, M. Ali, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia Pendekatan Fikih dalam Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994.

Haris, Syamsuddin, NU dan Politik: Perjalanan Mencari Identitas, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1990.

Herson, Lawrence J.R., The Politics of Ideas Political Theory and American Public Policy, The Dorsey Press, Illinois, 1984.

Hikam, Muhammad A,S., Khittah dan Pergulatan Civil Society di Indonesia: Sebuah Kajian Historis dan Struktural atas NU di Indonesia sejak 1984, dalam Ellyasa K.H. Darwis (ed). Gus Dur dan Masyarakat Sipil, LKiS, Yogyakarta, 1994.

______, Islam, Demokratisasi dan Perkembangan Civil Society, Erlangga, Jakarta, 1999.

Humas Sekretariat Daerah, Profil Kabupaten Jember, Penerbit Bagian Humas Sekretariat Daerah Kabupaten Jember, Jember, t.t.

Ismail, Faisal, NU, Gus Durisme dan Politik Kiai, PT. Tiara Wacana, Yogyakarta, 1999.

Jember, Pemerintahan Kabupaten, Pola Dasar Pembangunan Daerah Kabupaten Jember, 2001.

_______, Perencanaan Strategik Pemerintahan Kabupaten Jember, Bagian Humas Sekretariat Kabupaten Jember, Jember, 2001.

Johnson, Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jilid I, terj. R.M.Z. Lawang, cetakan Pertama, Gramedia, Jakarta, 1986.

Jones, Sidney, Pengkerutan dan Pemuaian Makna “Umat” dan Peran Nahdlatul Ulama, dalam Greg Fealy & Greg Barton (ed.) Tradisionalisme Radikal Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara, LKiS, Yogyakarta, 1997.

Karim, Gaffar, Metamorfosis, NU dan Politisasi Islam Indonesia, LKiS, Yogyakarta, 1995.

Kleden, Ignas, Melacak Akar Konsep Demokrasi: Suatu Tinjauan Kritis, dalam Ahmad Suaedy. (ed.), Pergulatan Pesantren dan Demokritisasi, LKiS, Yogyakarta, 2000.

Komisi Pemilihan Umum, Nuansa Pemilihan Umum di Indonesia, t. pn., Jakarta, t.t.

Koentjoroningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Gramedia, Jakarta, 1989.

Kuntowijoyo, Enam Alasan Tidak Mendirikan Partai Islam, dalam Mustofa (ed) Memilih Partai Mendambakan Presiden: Berdemokrasi di Ufuk Millenium, Rosda, Bandung, 1999.

______, Identitas Politik Umat Islam, Mizan, Bandung, 1997.

Maridjan, Kacung, Quo Vadis NU Setelah Kembali Ke Khittah 1926, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1992.

Maxweel, Josep A., Qualitative Research Design an Interactive Approach, Sage Publication, California, 1996.

Moesa, Ali Maschan, NU, Agama dan Demokrasi: Komitmen Muslim Tradisionlis Terhadap Nilai-Nilai Kebangsaan, Pustaka Dai Muda, Surabaya, 2002.

________. Refleksi Konferensi Wilayah NU Jatim NU di Tengah Tarik Ulur Politik, Jawa Pos 12 Oktober, 2002, PT. Jawa Pos, Surabaya.

Miles, Mattew & A. Michel Huberman, Analisis Data Kualitatif, terj. Tjetjep Rohendi, UI Press, Jakarta, 1992.

Mulkhan, Abdul Munir, Perubahan Perilaku Politik dan Polarisasi Ummat Islam 1965-1987 Dalam Perspektif Sosiologis, Rajawali Persada, Jakarta, 1989.

Munasichin, Zainul, Politik NU, NU Politik: Studi Kasus Relasi NU PKB Jember, dalam Jurnal Gerbang 12-V, eLSAD, Surabaya, 2002.

Muzadi, Muhid, Jatidiri PKB, Perc. Offsett: Nurisss, Jember, 1999.

________, Kaitan NU dan Partai Kebangkitan Bangsa. Dalam Aula No. 08 Tahun XX, PWNU Jawa Timur, Surabaya, 1998.

Muzadi, Hasyim, Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa, Logos, Jakarta, 1999.

Nakamura, Mitsuo, Tradisionalisme Radikal Catatan Muktamar Semarang 1979. Dalam Greg Fealy & Greg Barton (ed),. Tradisionalisme Radikal Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara, LKiS, Yogyakarta, 1997.

Noeh, Munawar Fuad & Mastuki HS., Menghidupkan Ruh Pemikiran KH. Ahmad Siddiq, Logos, Jakarta, 1999.

NU Jember & Lakspesdam, Gerak Tertib Organisasi. Laporan Pelatihan Kepemimpinan NU Cabang Jember, Tidak Ditertibkan, Jember, 1987.

Panitia Deklarasi, Menyambut Deklarasi Partai Kebangkitan Bangsa, t. pn., Jakarta, 1998.

Pengurus NU Jember, Laporan Konperensi Cabang NU Jember Pada Tanggal 17-18 Oktober 1999, Tidak Diterbitkan, Jember, 1999.

Poloma, Margaret M., Sosiologi Kontemporer, Rajawali Press, Jakarta, 2000.

Radar Jember. Redam gejolak, LKM Tasyakuran 23 Oktober 1999.

Sekjen PBNU, Laporan PBNU Periode 1994-1999 Pada Mukhtamar NU ke 30-21-27 November 1999 di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Jakarta, Kramat Raya, 1999.

Shiddiqi, Nourouzzaman, The Role of the ‘Ulama’ During the Japanese Occupation of Indonesia (1942-45), Thesis, McGill University, Montreal Canada, 1975.

Soebahar, Abdul Halim, Arsitek Pemikiran Islam Indonesia (Catatan Biografi KH. Achmad Siddiq), t. pn., Jember, 2001.

Subakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik, cetakan keempat, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1999.

Syafi’i, A., Persaingan Memperebutkan Suara NU, dalam Sahar L. Hassan dkk. (ed). Memilih Partai Islam: Visi, Misi dan Persepsi, Gema Insani Press, Jakarta, 1998.

Varma, SP., Teori Politik Modern, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999.

Yin, Robert K., Studi Kasus (Desain dan Metode), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997.
http://www.ditpertais.net/istiqro/ist02-08.asp

Pergeseran Perilaku Politik Kultural Nahdlatul Ulama (NU) di Era Multi Partai Pasca Orde Baru

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to top