Salah satu tujuan pembangunan nasional secara garis besar yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945 ialah kesetaraan bagi seluruh warga negara Indonesia, baik itu laki-laki maupun perempuan. Kesetaraan yang dimaksud meliputi semua aspek pembangunan di berbagai lini penyelenggaraan pemerintahan. Artinya, tugas untuk menjadikan masyarakat yang setara dan inklusif merupakan hal yang perlu dilaksanakan dalam setiap perencanaan pembangunan.
Pada prosesnya, dalam kehidupan bermasyarakat masih banyak terjadi tindakan yang mendiskriminasi salah satu pihak. Contohnya di sektor ruang publik ada beberapa kondisi di mana tidak meratanya fasilitas yang disediakan untuk perempuan menyusui (ruang laktasi), padahal dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2013 sudah dijelaskan tentang Tata Cara Penyediaan Fasilitas Khusus Menyusui Dan/Atau Memerah Air Susu Ibu. Ini tentu menjadi salah satu permasalahan yang perlu untuk segera dicarikan strategi yang solutif. Berbagai faktor melatar belakangi hal tersebut, salah satunya adalah faktor dari kebijakan.
Dalam makna sederhana, sesuatu bisa dikatakan kebijakan publik ketika dia sudah mencapai level implementasi, tidak hanya sebatas dokumen konsep atau rencana. Dalam hal kesetaraan, dapat dikatakan banyak kebijakan-kebijakan yang terlahir, belum mencapai tahap akhir, sudah “diamputasi”. Ibarat kata, pohon yang ditanam, belum juga berbuah, malah sudah busuk duluan. Hal itulah yang sering terjadi ketika membicarakan kebijakan publik. Begitu juga dengan isu gender, masih banyak kasus mengenai ketidaksetaraan yang terjadi.
Memandang Sebuah Kebijakan
Ada beberapa kebijakan yang terlahir belum sampai ranah akhir (Baca:teramputasi), banyak kebijakan yg berhasil diformulasi tetapi tidak ada yang sampai terimplementasi. Layaknya sebuah pohon, belum berbuah tetapi sudah membusuk duluan. Fadillah Putra, S.Sos, M.PAff, Ph.D., dosen Universitas Brawijaya dalam salah satu sesi di acara Gender Equality Academy menerangkan bahwa sebuah kebijakan yang bagus ialah suatu undang-undang yang melahirkan peraturan (kebijakan) dan terimplementasikan dalam sebuah program dan minimal mempunyai tolok ukur yang jelas.
Menurutnya, sebuah kebijakan publik bisa menjadi sempurna ketika sudah melewati tiga komponen, yaitu:
Political Governance yang mengacu pada proses pembuatan keputusan untuk merumuskan kebijakan (policy/strategy formulation).
Economic Governance yang meliputi proses pembuatan keputusan yang memfasilitasi terhadap equity (kekayaan), property (properti)
Administrative Governance yang mengacu pada sistem implementasi kebijakan.
Pertama, komponen political governance mengacu pada dalam lahirnya sebuah kebijakan publik adalah adanya konsolidasi politik, apakah kebijakan yang lahir itu sudah mewakili keputusan politis. Fakta di lapangan, hampir 90 % gagal lahirnya suatu kebijakan publik bukan karena rancangan kebijakannya kurang bagus, tetapi tidak cocoknya rancangan kebijakan dengan keputusan politis.
Komponen kedua adalah economical governance. Sisi ekonomi memang tak bisa lepas ketika berbicara tentang sebuah kebijakan, pertimbangan dari sisi ekonomi juga memegang peran yang cukup penting dalam menentukan sebuah kebijakan itu bisa lahir atau tidak. Pertimbangan dari sisi ekonomi ini terbagi menjadi dua, yaitu macro dan personal. Pertimbangan sisi ekonomi dari macro ini bersifat umum, contohnya lahirnya sebuah kebijakan yang baru, akankah berimbas pada ekonomi secara luas atau tidak, kebijakan yang mempunyai potensi untuk memicu gejolak pada masyarakat pasti akan ditolak. Lalu ada pertimbangan sisi ekonomi personal, artinya jika sebuah kebijakan ini tidak menguntungkan si pembuat kebijakan sendiri maupun kelompoknya, maka kebijakan itu juga tidak akan lahir.
Komponen ketiga yaitu administrative governance. Lahirnya sebuah kebijakan yang baru kadang kala bersifat tumpang tindih dalam pelaksanaannya di lapangan. Hal-hal bersifat administratif bisa menjadi sebuah permasalahan baru dalam pembentukan sebuah kebijakan yang baru, contohnya, kebijakan A yang baru lahir tentunya mempunyai administrasi sendiri, lalu lahir sebuah kebijakan A1 yang mempunyai administratif sendiri, tentunya hal itu juga merupakan faktor yang menghambat dalam lahirnya sebuah kebijakan.
Tawaran Pendekatan Gender (Kerangka Harvard, Moser dan Pemberdayaan)
Melihat sebuah kebijakan terntu banyak alat yang bisa dipakai, terlebih ketika membahas perihal gender, Fadillah menjelaskan bahwa terdapat 3 kategori alat yang dapat menganalisi situasi dan posisi gender di dalam keluarga dan dalam masyarakat, yaitu:
Kerangka Harvard
Digunakan untuk keperluan menganalisa tentang keluarga, dan masyarakat. Kerangka tersebut lebih bersifat mikro, artinya di sini dibahas secara detail bagaimana peran dan posisi perempuan di lingkup kecil, seperti keluarga dan masyarakat. Kerangka inipun memunculkan berbagai variasi dalam analisisnya. Seperti perbedaan level ekonomi, perbedaan budaya hingga perbedaan usiapun bisa memunculkan perbedaan pola dan peran,
Kerangka Moser
Pada kerangka ini tidak membahas sesuatu yang bersifat mikro (hubungan antar personal). Kerangka ini lebih mengarah bagaimana peran perempuan itu berfungsi secara holistic atau masuk dalam unsur tertentu misalnya: bagaimana peran perempuan dalam politik, peran perempuan dalam keterwakilan publik. Kerangka ini berguna pada tahap perencanaan untuk menetapkan apakah suatu perencanaan program telah mempertimbangkan wawasan gender.
Kerangka Pemberdayaan (Empowerment)
Pada kerangka pemberdayaan ini tidak langsung masuk pada unsur tertentu seperti kerangka Monser atau tidak membahas yang berkaitan dengan hubungan atar personal seperti pada kerangka Harvard. Titik berat dari kerangka pemberdayaan adalah dari segi mana yang lemah, entah itu perempuan maupun laki-laki, dan dilihat apa yang menyebabkan kelemahan itu dan diselesaikan dengan strategi pemberdayaan, jadi bisa dilihat dari secara luas. Kerangka ini dapat dipakai untuk melihat selama aksi pembangunan berlangsung, apakah telah terjadi peningkatan pemerataan ataupun peningkatan kemampuan pihak yang tidak beruntung baik laki-laki maupun perempuan.
Ketiga kerangka di atas dapat digunakan dalam melihat arah gerak sebuah kebijakan yang membahas tentang gender. Sebuah kebijakan dipandang dengan kerangka Harvard ketika membahas hal-hal yang bersifat mikro, atau memakai kerangka Moser ketika membahas tentang hal yang berkebalikan dari kerangka Harvard, atau bisa dengan kerangka pemberdayaan yang dimana kerangka tersebut bersifat memperbaiki sisi yang lemah dan ditingkatkan dengan strategi pemberdayaan. Atau bahkan bisa dikombinasikan antara ketiga kerangka tersebut.
Kebijakan Yang (Belum) Pro Minoritas
Perbincangan mengenai kebijakan gender di ruang publik akan menghasilkan simpulan bahwa masih banyak poin-poin perlu diperbaiki, salah satunya perihal kebijakan publik tentang ruang lakstasi. Berdasarkan Jurnal Action: Nutrition Journal yang berjudul Impelementasi Kebijakan Penyediaan Ruang Laktasi di Kota Malang, menunjukkan bahwa penyediaan fasilitas ruang laktasi ini didasarkan atas kebijakan khusus. Terkait dengan proses komunikasi para pelaksana kebijakan melakukan sosialisasi dan rapat koordinasi. Kecenderungan para pembuat kebijakan dan pelaksana menunjukkan komitmen yang bagus (positif). Namun untuk struktur birokrasi belum maksimal karena belum ada SOP khusus yang disediakan dalam penyediaan ruang laktasi.
Sebagian besar ruang laktasi telah memenuhi standar sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 15 Tahun 2013. Namun beberapa ruang laktasi yang disediakan belum dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Untuk itu diharapkan kepada pelaksana kebijakan melakukan sosialisasi secara konsisten tentang penyediaan dan pemanfaatan ruang laktasi serta memberikan sanksi tegas bukan sekedar teguran saja bagi instansi yang belum menyediakan ruang laktasi. Dari penelitian tersebut bisa dianalisa dengan komponen adminstrative governence yang mana masih belum adanya sebuah SOP khusus yang disediakan dalam penyediaan ruang laktasi. Hal itulah yang menjadi salah satu penyebab kebijakan tentang penyediaan ruang laktasi di Kota Malang belum terimplementasi secara sempurna.
Oleh; Abdal Malik Fajar Alam