Rabu malam, 27 Oktober 2021, Komunitas Averroes kembali laksanakan Diskusi Reboan. Mengusung tema gender dan agama, antusiasme peserta nampak tinggi. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya peserta yang hadir dan memberikan feedback.
Sebagaimana penjelasan awal oleh moderator, gender adalah sebuah konstruksi yang dibuat oleh kultur sosial. Gender dipenuhi dengan problematika mulai dari sosial, tingkat ekonomi dan agama. Sementara agama sering disalahartikan. Kurangnya partisipasi perempuan dalam membuat tafsir dari sebuah ayat atau hadits menjadikan penafsiran dari masyarakat lebih condong ke pria atau lebih patriarki.
Diskusi Reboan dihadiri oleh tokoh pemuda dari beberapa organisasi yang memiliki background yang berbeda. Beberapa di antaranya adalah M. Sa’i Yusuf, ketua PC PMII Kota Malang, Melly Indrawati, perwakilan PC Hikmabudhi Malang, Ema Sarila Sinaga, pengurus GMKI Cabang Malang, dan Balduinus Ventura, perwakilan dari PMKRI Cabang Malang.
Berbagai pembahasan terkait gender dan agama diberikan oleh para pemantik diskusi guna membangun wawasan dari peserta seperti pengertian gender dari berbagai perspektif. Tidak lupa, ceritera historis gender menurut dari agama masing-masing dan terakhir posisi serta kedudukan gender dalam tiap agama dijabarkan oleh para pemantik diskusi.
Secara umum, setiap agama merasa partisipasi perempuan yang masih minim menjadi problem dalam tafsir ayat pada tiap agama. Hal ini menjadikan tafsir sendiri masih banyak berbau condong maskulin atau berbau patriarki. Selain keresahan ini perempuan juga kurang dalam kesadaran untuk ikut serta dalam tiap kegiatan baik dalam agama maupun sosial politik. Perempuan cenderung mengilhami kepasifannya dan tidak bergerak, sementara perempuan yang memperjuangkan hak mereka juga butuh dukungan dari perempuan lainnya.
Dalam kaitannya mengenai solusi dalam memerangi ketidakadilan gender, Melly selaku perwakilan dari Hikmabudhi memaparkan bahwa agama tidak dapat dilihat dari “katanya saja”. Namun harus datang, lihat dan buktikan untuk mengetahui sebuah kebenaran.
Sementara itu, Sa’i, perwakilan dari PMII memberikan tanggapan bahwa kepekaan antara pria dan perempuan dalam islam gender itu adalah label yang diberi oleh masyarakat. Ini tentu saja berbeda dengan syariat yang sudah dari Tuhan dan itu bersifat mutlak.
Menurut Ema, perwakilan GMKI, menjelaskan efek patriarki tidak hanya dirasakan oleh perempuan namun juga yang pria. Sebagai contoh, pria miskin sangat insecure saat menikahi perempuan kaya. Dalam agama protestan sudah banyak pergantian atau angin segar dalam ibadahnya tetapi sampai sekarang ephorus dalam kristen tidak ada yang perempuan. Namun kembali lagi ketertarikan perempuan itu masih belum muncul untuk mencari posisi dan itu harus kita sadari juga.
Terakhir, perwakilan dari PMKRI, Ventura, menegaskan bahwa feminis yang dibicarakan adalah kebebasan dan tidak dibatasi oleh status individu itu sendiri jika dilihat dari kaca feminis liberal. Dalam keadaannya feminis tidak harus membawa keinginan individu, antara pria dan perempuan saling mendukung satu sama lain. Sehingga dapat mewujudkan feminisme itu sendiri.
Secara garis besar, masing-masing agama tidak ada ketimpangan atau kesenjangan. Perbedaan hanya ada pada tingkat keimanan tiap individu masing-masing dan pemahaman akan fungsi dan peran dalam setiap wilayah kebijakan, baik domestik maupun publik. Tidak ada batasan dan perbedaan pasti secara kodrat atau lahiriah, jika ada itu hanya sifat yang melekat, bukan fungsi dan peran yang diemban.