Waspadai Tujuh Tahap Kritis Desa Wisata

Perkembangan pariwisata telah menunjukkan perubahan tren global. Ada pergeseran orientasi yang cukup signifikan, dari pariwisata masa menuju pariwisata alternatif. Kini, para wisatawan lebih suka mengapresiasi kelestarian alam, lingkungan dan budaya dibandingkan dengan wisata hiburan yang dikembangkan oleh kekuatan modal yang besar.

Implikasi dari pergeseran pola tersebut adalah menyeruaknya perkembangan pariwisata berkelanjutan, tidak hanya dari aspek ekonomi, namun juga dari kelestarian alam dan pemberdayaan masyarakat. Sosiokultural menjadi salah satu nilai yang dipertimbangkan oleh para wisatawan. Mereka merasa lebih senang jika bisa memberikan sumbangan yang berguna untuk penduduk desa baik berupa materi, tenaga, informasi atau gagasan. Interaksi antara wisatawan dengan penduduk desa menadi poin penting dalam pembangunan wisata pedesaan.

Pengembangan desa wisata memang tepat untuk menggerakkan ekonomi pedesaan. Banyak hal yang semula dianggap tidak berarti ternyata dapat menambah penghasilan penduduk desa. Aktivitas bertani, membuat kerajinan dan memerah susu sapi bisa menjadi sebuah atraksi yang menarik bagi penduduk kota dan turis asing.

Keterbatasan dan kondisi desa yang kurang tersentuh pembangunan fisik tidak menjadi halangan bagi wisatawan untuk mengunjugi desa. Meski jalan menuju desa tidak mulus, bahkan listrik belum ada, tidak menghambat minat wisatawan untuk datang jika desa itu menawarkan sesuatu yang khas. Masyarakat desa hanya perlu belajar bagaimana berinteraksi dengan orang luar yang akan berdatangan ke desanya.

Secara kebetulan, Undang-Undang Desa lahir bersamaan dengan berkembangnya teknologi informasi. Para wisatawan yang didominasi oleh generasi muda memiliki kecenderungan untuk mencari pengalaman baru yang unik dan berbeda ketika dibagikan di media sosial. Karena dua peluang tersebut, akhirnya banyak bermunculan wisata-wisata alternatif berskala kecil yang umumnya dikelola oleh kelompok masyarakat atau pemerintah desa.

Para pelaku usaha wisata alternatif tersebut perlu memahami siklus hidup destinasi wisata guna menjamin keberlanjutan sosial, ekonomi dan lingkungan. Pada tahun 1980, Richard W. Butler dalam bukunya yang berjudul “The Concept of Tourism Area Cycle of Evolution: Implications for Management of Resources” mengungkapkan siklus dan beberapa titik kritis dalam perkembangan destinasi wisata. Perkembangan wisata baik yang dikembangkan oleh kekuatan modal maupun berbasis komunitas, selalu mengikuti proses yang relatif konsisten. Sebuah destinasi wisata, cepat atau lambat akan mencapai ambang batas atau puncak kejayaan dan kemudian mengalami penurunan. Siklus dan titik kritis tersebut terbadi dalam 7 tahap berikut:

1. Tahap Eksplorasi

Tahap eksplorasi dimulai ketika sejumlah orang yang berjiwa petualang, umumnya adalah generasi muda, tertarik dengan ciri khas dan budaya unik dari sebuah destinasi wisata. Fase ini identik dengan istilah discovery karena sebuah destinasi baru ditemukan baik oleh wisatawan, perusahaan wisata maupun oleh pemerintah.

Pada fase ini, akses menuju tempat wisata masih sulit. Fasilitas dasar yang tersedia untuk pengunjung juga masih terbatas. Karena berbagai keterbatasan ini, para wisatawan akhirnya menggunakan fasilitas lokal seadanya. Mereka umumnya berinteraksi dengan penduduk lokal untuk mendapatkan beberapa kebutuhan seperti penginapan, makanan dan kamar mandi. Destinasi wisata memberikan kesan yang berharga bagi para pengunjung meski memiliki banyak keterbatasan.

Interaksi antara masyarakat dengan wisatawan belum menyebabkan perubahan karakteristik fisik dan sosial di sekitar destinasi wisata. Kedatangan dan kepergian wisatawan tidak cukup signifikan dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Manfaat dari kegiatan wisata baru dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat penyedia layanan.

2. Tahap Keterlibatan

Kian hari jumlah wisatawan akan kian meningkat. Karenanya, semakin banyak penduduk yang terlibat dalam penyediaan fasilitas bagi para wisatawan. Secara khusus mereka mengubah pola sosio kultural dan fisik untuk mendukung wisata di desanya. Meski interaksi antara wisatawan dan penduduk lokal masih cukup terbatas. Kegiatan pariwisata yang berkembang mengarah pada penyediaan layanan dasar yang juga bermanfaat bagi penduduk lokal. Fase ini juga ditandai dengan munculnya iklan untuk menarik kunjungan wisata. Target konsumen atau pasar mulai dapat dikenali. Organisasi atau lembaga pengelola wisata juga mulai bermunculan. Karena perkembangan ini, masyarakat mulai melakukan tekanan kepada pemerintah untuk menyediakan atau memperbaiki akses menuju lokasi wisata.

3. Tahap Pembangunan

Tahapan ini ditandai dengan kedatangan wisatawan yang jumlahnya sama atau lebih besar dari jumlah penduduk lokal. Keterlibatan dan kendali dari kekuatan lokal menurun secara signifikan. Sementara itu, pihak luar mulai masuk dan menyediakan fasilitas kekinian (up to date). Investasi baik dalam bentuk fisik maupun kegiatan promosi semakin intensif dilakukan oleh pihak luar. Fasilitas lokal akhirnya tersisih dan digantikan oleh fasilitas touristic dengan standar yang dipandang baik dari kaca mata orang luar desa.

Pada fase ini, atraksi alam dan budaya dipelihara, dikembangkan dan dipasarkan. Sementara itu, fasilitas buatan manusia juga didatangkan dari luar. Karenanya, perubahan tampilan fisik akan terlihat sangat berbeda. Akan muncul sikap kontra dari penduduk lokal atas berbagai perubahan yang terjadi. Para penduduk mulai merasakan dampak negatif dalam hal kualitas hidup karena banyaknya wisatawan yang datang.

4. Tahap Konsolidasi

Pariwisata menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Sebagian masyarakat menggantungkan hidupnya pada hal-hal yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan wisata. Strukrur ekonomi kawasan wisata tidak hanya dipegang oleh pihak luar namun justru didominasi oleh jaringan internasional atau perusahaan waralaba (franchise).

Pada fase ini, jumlah pengunjung masih meningkat tapi tidak sepesat fase sebelumnya. Karenanya terjadi penambahan fasilitas-fasilitas dari pihak luar untuk tetap menarik minat wisatawan. Sayangnya penambahan fasilitas justru semakin memperruncing sikap antagonis dari penduduk lokal terutama mereka yang tidak terlibat dalam industri pariwisata.

5. Tahap Stagnasi

Citra awal yang tertanam di lokasi wisata telah berubah. Atraksi wisata buatan lebih banyak daripada keunikan alam dan budaya. Fase ini juga ditandai dengan telah tercapainya titik puncak pemenuhan kapasitas daya dukung wisata. Masalah sosial, ekonomi dan lingkungan bermunculan. Dari hari ke hari, jumlah pengunjung berada pada titik rata-rata yang sama. Para pelaku wisata hanya mengharapkan pengunjung yang telah datang untuk datang kembali.

6. Tahap Penurunan

Ketika wisatawan mengalami kejenuhan, maka mereka akan beralih ke destinasi wisata baru. Karena penurunan jumlah kunjungan, secara alamiah banyak fasilitas yang beralih fungsi untuk kegiatan-kegiatan non-pariwisata. Ini adalah kondisi terburuk sebuah destinasi wisata. Ketika jumlah pengunjung menurun, usaha wisata mengalami kelesuan dan kerugian, fasilitas wisata beralih fungsi kemudian destinasi wisatanya semakin tidak menarik bagi pengunjung. Umumnya, setelah mengalami tahap ini, pengelola wisata akan menurunkan harga dan pada titik yang paling ekstrem, detinasi wisata akan turun derajat menjadi wisata kelas rendahan atau bahkan kehilangan identitas sebagai tempat wisata.

7. Tahap Peremajaan

Ketika pelaku wisata dan masyarakat berhasil melalui tahap sebelumnya, maka akan muncul kesadaran untuk mengembalikan kejayaan dan tumbuh inisiatif untuk melakukan peremajaan. Akan terjadi perubahan drastis karena upaya dari berbagai pihak yang peduli. Peremajaan bisa dalam bentuk pengembangan produk wisata baru dan pemanfaatan sumber daya alam serta kultur budaya sebagai bagian dari wisata.

Dari tujuh fase tersebut, tahap pengembangan dan tahap konsolidasi adalah saat di mana jumlah wisatawan dan kesejahteraan ekonomi masyarakat meningkat. Sayangnya, pada tahap itu pula bermunculan masalah sosial dan lingkungan yang cukup menggangu kehidupan. Wisata berbasis masyarakat harus berhati-hati manakala mulai memasuki fase ini. Perlu regulasi dari desa guna membatasi atau jika memang perlu melarang masuknya investor. Hal ini penting guna menjamin kontrol masyarakat lokal atas wisata yang mereka miliki. Kontrol terhadap kelestarian lingkungan juga harus menjadi perhatian utama pada fase ini.

Stagnasi dan penurunan merupakan tahap yang tak kalah penting. Keberlanjutan destinasi wisata tergantung pada dua tahap ini. Manakala pengelola mampu berinovasi dan mengikuti perkembangan, maka destinasi tersebut akan selamat dan tidak kehilangan identitasnya sebagai lokasi wisata.

Waspadai Tujuh Tahap Kritis Desa Wisata

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to top